Zakat dan Pajak
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Zakat
dan pajak, merupakan term yang berbeda apabila kita lihat, keduanya seperti
seolah-olah mempunyai definisi yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai
hubungan satu sama lain. Bahwa zakat itu merupakan suatu beban yang diwajibkan
oleh Tuhan di dalam agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban yang menjadi
beban bagi para penduduk suatu negara untuk membayarnya sebagai bentuk bahwa
dia ikut membangun negaranya. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang keilmuan
ternyata zakat dan pajak tersebut mempunyai hubungan yang cukup dekat,
mempunyai persamaan-persamaan dan juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang
sangat menarik untuk dibahas. Atas dasar masalah tersebut makalah ini disusun,
selain itu untuk memenuhi tugas individu dalam mata kuliah Hukum Zakat.
B.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian atau definisi dari
zakat dan pajak ?
2.
Apa sajakah unsur-unsur persamaan antara
zakat dan pajak ?
3.
Apa sajakah unsur-unsur perbedaan antara
zakat dan pajak ?
4.
Bagaimana hubungan antara zakat dan
pajak ?
C.
Tujuan Penulisan.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian atau
definisi dari zakat dan pajak.
2.
Untuk mengetahui unsur-unsur persamaan
antara zakat dan pajak.
3.
Untuk mengetahui unsur-unsur perbedaan
antara zakat dan pajak.
4.
Untuk mengetahui hubungan antara zakat
dan pajak.
D.
Metode Penulisan.
Metode
penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Zakat dan Pajak.
Pakar
Ekonomi kontemporer mendefinisikan pajak sebagai kewajiban untuk membayar tunai
yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang yang bersifat
mengikat tanpa adanya imbalan (prestasi) tertentu dari negara yang disesuaikan
dengan kemampuan si pemilik harta dan hasilnya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran atau kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan
untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh negara. Pajak mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut :
1.
Pajak adalah membayar tunai, artinya
seorang mukallaf membayarnya dengan uang tunai tidak berupa barang.
2.
Pajak adalah kewajiban yang mengikat, artinya
bahwa pajak adalah kewajiban yang dipungut dari setiap individu sebagai suatu
keharusan.
3.
Pajak adalah kewajiban pemerintah,
pejabat-pejabat pemerintah atau lembaga yang berwenang seperti majelis-majelis
daerah, majelis kota, dan desa mewajibkan pajak kemudian hasilnya dipergunakan
untuk kepentingan umum.
4.
Pajak adalah kewajiban yang bersifat
final, artinya seorang mukallaf tidak berhak untuk menolak atau menuntut
sekalipun tidak tercipta suatu kemanfaatan, hal ini berbeda dengan orang yang
berhutang dimana dia boleh menarik hutangnya dan mengembalikan bila sudah jatuh
tempo.
5.
Pajak tidak ada imbalannya, artinya
tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan atau fasilitas
kesejahteraan.
6.
Pajak adalah kewajiban tuntutan politik
untuk keuangan negara. Para pakar Ekonomi membatasi sasaran pajak untuk
menutupi kebutuhan umum[1].
Zakat
menurut para ahli fikih adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap
harta kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang di dalam Qur’an
disebut kalangan fakir miskin, dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas
nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan
diri dan hartanya[2].
Sedangkan menurut para pemikir Ekonomi Islam modern, zakat didefinisikan
sebagai Harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang
kepada masyarakat umum atau individual yang bersifat mengikat, final, tanpa
imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik
harta. Zakat itu dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang
telah ditentukan oleh Al-Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi
keuangan Islam. Sehingga dari definisi tersebut kita dapat membatasi
unsur-unsur zakat sebagai berikut :
1.
Zakat adalah kewajiban yang bersifat
material, seorang mukallaf muslim membayarkannya baik secara tunai berupa uang
maupun berupa barang.
2.
Zakat adalah kewajiban yang bersifat
mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang muslim mukallaf adalah suatu
keharusan.
3.
Zakat adalah kewajiban final, artinya
orang Islam tidak boleh menolak, tidak ada hak bagi orang Islam untuk menentang
dan menuntutnya.
4.
Zakat adalah kewajiban yang tidak ada
imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh kemanfaatan atau fasilitas yang
seimbang bagi pembayar zakat, tidak ada hubungan antara kewajiban membayar
zakat dengan imbalan yang seimbang setelah membayar zakat.
5.
Zakat adalah kewajiban tuntutan politik
untuk keuangan Islam. Alokasi zakat adalah untuk golongan delapan penerima
zakat, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qur’an[3].
B.
Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat
beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak, antara lain sebagai berikut :
a.
Unsur Paksaan.
Seorang
muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika
melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para
petugas zakat, wajib memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar
zakat, bila mereka punya kekuatan[4].
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103. Dalam
sebuah riwayat Abu Daud dikemukakan bahwa ketika banyak orang yang mengingkari
kewajiban zakat di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau bersabda “ Demi Allah,
saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban
zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, jika
mereka menolak mengeluarkan zakat unta yang mereka tunaikan kepada Rasulullah
saw, pasti aku akan memeranginya, karena penolakan tersebut.”
Dalam
riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Barangsiapa
memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahala.
Dan barangsiapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat),
dan setengah untanya, sebagai salah satu ‘uzmah
(kewajiban yang dibebankan kepada para hamba) oleh Allah SWT. Tidak sedikitpun
dari harta itu yang halal bagi keluarga Muhammad.”
Demikian
pula halnya seorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan
tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib
pajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara
bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan
penyitaan.
b.
Unsur Pengelola.
Asas
pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat
dalam surat at-Taubah ayat 60. Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui
bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual,
dari muzakki diserahkan langsung
kepada mustahiq, akan tetapi
dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus yang menangani zakat, yang memenuhi
persyaratan tertentu yang disebut dengan ‘amil
zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada
masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya
secara tepat. Dalam bab III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat
di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat
(LAZ).
Disamping
berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat ini
mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain :
1.
Untuk menjamin kepastian dan disiplin
pembayaran zakat.
2.
Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan
langsung menerima haknya dari para wajib zakat (muzakki).
3.
Untuk mencapai efisiensi, efektivitas
dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas
yang ada pada suatu tempat.
4.
Untuk memperlihatkan Syi’ar Islam dalam
semangat penyelenggaraan negara dan pemerintah yang islami.
Sementara
itu dalam Bab II pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa
pengelolaan zakat melalui amil zakat, bertujuan :
1.
Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat
dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.
Meningkatkan fungsi dan peranan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial,
3.
Meningkatkan hasil guna dan daya guna
zakat.
Adapun
pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan
pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kedapa negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c.
Dari Sisi Tujuan.
Dari
sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia,
seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah yaitu sebagai berikut :
1.
Menggalang jiwa dan semangat saling
menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam.
2.
Merapatkan dan mendekatkan jarak dan
kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.
Menanggulangi pembiayaan yang mungkin
timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
4.
Menutup biaya-biaya yang timbul akibat
terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekeasan dalam
masyarakat.
5.
Menyediakan suatu dana taktis dan khusus
menyediakan biaya hidup para gelandangan, para pengangguran, dan para
tunasosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak
menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu.
Pada
akhirnya, zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan
ketentraman. Demikian pula pajak, dalam beberapa tujuan relatif sama dengan
tujuan tersebut diatas, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan negara untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Sjechul hadi
Permono mengemukakan bahwa terdapat kesamaan dalam tujuan zakat dengan pajak
yaitu sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang
merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spriritual[5].
d.
Dari Sisi Imbalan.
Diantara
ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak
menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai
fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dengan
zakat, pezakat (muzakki) tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah
selaku anggota masyarakat Islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan, dan
solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong
warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan
dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi
kepentingan umat Islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah
kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran
zakatnya[6].
C.
Perbedaan antara Zakat dan Pajak.
Selain
mempunyai titik-titik persamaan, zakat dan pajak juga mempunyai beberapa
perbedaan diantara keduanya. Diantara perbedaan antara zakat dan pajak adalah
sebagai berikut :
1.
Dari Segi Nama dan Etiketnya.
Perbedaan
antara zakat dan pajak sepintas lalu nampak dari etiketnya, baik arti maupun
kiasannya. Kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh, dan berkah. Syariat
Islam memilih kata tersebut (zakat) untuk mengungkapkan arti dari bagian harta
yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik lainnya, berbeda
dengan gambaran dalam kata pajak. Sebab kata Dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah, atau upeti dan
sebagainya. Yaitu sesuatu yang mesti
dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Demikian biasanya orang memandang pajak
sebagai paksaan dan beban yang berat. Kadangkala diartikan pula dengan al-jizyah yang berarti pajak tanah
(upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah
(orang-orang yang tetap pada kekafiran, tetapi tunduk aturan pemerintahan
Islam). Allah SWT befirman dalam surat at taubah ayat 29 :
(#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# w cqãZÏB÷sã «!$$Î/ wur ÏQöquø9$$Î/ ÌÅzFy$# wur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur wur cqãYÏt tûïÏ Èd,ysø9$# z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èã spt÷Éfø9$# `tã 7t öNèdur crãÉó»|¹ ÇËÒÈ
Yang artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasulullah dan beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Tafsir
Departemen Agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638, memberikan
keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan bagi
jaminan keamanan diri mereka sendiri[7].
Adapun
kata zakat dan makna yang terkandung didalamnya, seperti kesucian, pertumbuhan
dan berkat, mengisyaratkan bahwa harta yang ditimbun dan dipergunakan untuk kesenangan
dirinya serta tidak dikeluarkan hak yang
diwajibkan Allah atasnya akan menjadi harta yang kotor dan najis. Harta
tersebut akan menjadi suci bila kita berzakat dan untuk menghilangkan segala
kotoran , sifat tamak dan kikir. Demikian pula itu mengisyaratkan bahwa harta
yang nampaknya berkurang menurut penglihatan orang tapi sebenarnya ia
bertambah, tumbuh dan bersih dalam pandangan orang yang melihat dengan mata
batinnya, sebagaimana firman Allah yang artinya “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”.
Demikian pula zakat menyatakan bahwa kebersihan, pertumbuhan dan berkah itu
bukan hanya bagi hartanya saja, tapi juga bagi manusia, yaitu bagi yang
memperoleh zakat dan bagi yang memberinya. Yang memperoleh zakat menjadi suci
dirinya dari rasa dengki dan rasa benci, sehingga kehidupan tumbuh berkembang,
karena kebutuhan bagi diri dan keluarganya terpenuhi. Adapun si pemberi zakat,
menjadi suci dari kotoran sifat tamak
dan kikir. Dirinya menjadi sudi dengan pengorbanan dan sedekah, sehingga
berkahlah dirinya, keluarganya dan hartanya.
2.
Mengenai Hakikat dan Sasarannya.
Diantara
segi perbedaan antara zakat dan pajak ialah, bahwa zakat itu ibadah yang
diwajibkan bagi orang Islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan
mendekatkan diri kepadaNya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara
semanat-mata tak ada hubungannya dengan makna ibadat dan mendekatkan diri.
Dengan demikian untuk menunaikan zakat dengan diterima Allah SWT disyaratkan
niat, karena sesuatu amal bukanlah ibadat apabila dilakukan tanpa niat. Nabi
SAW bersabda yang artinya “Sesungguhnya
sahnya amal itu dengan niat”. Oleh karena itu, zakat dalam fikih Islam
dimasukkan kedalam bab ibadat, karena mengikuti jejak Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan zakat bersama shalat. Dalam Qur’an zakat disebutkan lebih dari dua
puluh kali, baik dalam surah yang diturunkan di Makkah maupun di Madinah.
Adapun dalam sunnah hampir tak terhitung banyaknya, seperti dalam hadits Jibril
yang masyhur dan hadits-Islam didirikan diatas lima hal-dan hadits-hadits lain.
Shalat dan zakat termasuk rukun Islam yang lima, dan termasuk empat macam
ibadah. Karena zakat itu ibadat, syiar agama dan rukun Islam, maka tidak
diwajibkan kecuali kepada kaum Muslimin. Syariat Islam yang bersifat toleran
tidak mewajibkan suatu kewajiban harta yang bercorak ibadat dan syiar Islam itu
kepada mereka yang bukan Islam. Berbeda dengan pajak yang diwaibkan kepada
semua orang, sesuai dengan ketentuan wajib setor.
3.
Mengenai Batas Nisab dan Ketentuannya.
Zakat
adalah hak yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai pembuat syariat. Dia lah yang
menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu
terhadap harta yang kurang dari senisab. Juga Allah memberikan ketentuan atas
kewajiban zakat itu dari seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat
puluh. Seorangpun tak boleh mengubah atau mengganti apa yang telah ditentukan
oleh syariat. Tidak boleh juga menambah atau mengurangi. Seperti nishab zakat
emas perak adalah 85 gram dan presentase zakatnya adalah 2,5 persen, demikian
pula zakat harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan
komoditas-komoditas lainnya. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat
tidak boleh keluar dari delapan asnaf[8].
Oleh karena itu kita tidak membenarkan mereka yang berbuat semana-mena
menyeru untuk menambah ketentuan mengenai kewajiban itu karena adanya perubahan
ekonomi, sosial yang terjadi pada zaman sekarang. Berbeda dengan pajak yang
tergantung dengan kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek,
prosentase, harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak
itu tergantung pada penguasa , sesuai dengan kebutuhan.
4.
Mengenai Kelestarian dan
Kelangsungannya.
Zakat
adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus
selagi Islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban itu tak akan
dapat dihapuskan oleh siapapun. Seperti shalat, ia merupakan tiang agama dan
pokok ajaran Islam. Adapun pajak, tidak memiliki sifat yang tetap dan terus
menerus, baik mengenai macam, presentase dan kadarnya. Tiap pemerintah dapat
mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan para cendekia, bahkan adanya
pajak itu sendiri tidak kekal. Ia akan ada jika dibutuhkan dan lenyap jika
tidak dibutuhkan lagi.
5.
Mengenai pengeluarannya.
Zakat
mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an dan
dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan perkataan dan perbuatannya. Sasaran itu
terang dan jelas. Setiap muslim dapat mengetahuinya, setiap muslim dapat
mengetahuinya dan membagikan zakatnya sendiri, bila diperlukan. Sasaran itu
adalah kemanusiaan dan keislaman. Adapun pajak dikeluarkan untuk membiayai
kepentingan-kepentingan umum negara, sebagaimana ditetapkan peraturannya oleh
penguasa.
Oleh
karena itu anggaran zakat terpisah dari anggaran belanja negara secara umum.
Zakat harus dikeluarkan melalui pos-pos yang telah ditentukan Qur’an, sebagai
suatu kewajiban dari Allah SWT.
6.
Hubungannya dengan penguasa.
Dari
sini dapat diketahui, bahwa pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan
pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, maka pemerintah
pula yang memungutnya dan membuat ketentuan wajib pajak. Pemerintah pula yang
berwenang untuk mengurangi besar pajak dalam keadaan dan kasus tertentu, bahkan
berwenang pula mencabut suatu macam pajak atau semua, bila menghendaki. Adapun
zakat adalah hubungan antara pezakat dengan Tuhannya. Allah lah yang memberinya
harta dan mewajibkan membayar zakat, semata-mata karena mengikuti perintah dan
mengharap Ridha-Nya. Diterangkan-Nya berapa kadar zakat itu dan kepada siapa
harus diberikan. Apabila tidak ada pemerintah Islam yang dapat menghimpun zakat
dari para wajib zakat, dan membagikan kepada para mustahiknya. Orang Islam
diperintah oleh agama untuk membagikan zakatnya sendiri kepada mereka yang
berhak. Kewajiban zakat tidak gugur daripadanya karena adanya sebab tadi,
seperti halnya shalat. Seorang Muslim wajib mendirikan shalat sekuasanya, baik
dirumah ataupun ditempat lain, meskipun ditempat itu tidak terdapat Masjid.
Maka shalat itu selamanya tidak boleh ditinggal demikian pula zakat.
7.
Maksud dan Tujuan.
Zakat
memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang
luhur itu tersirat pada kata zakat yang terkandung didalamnya. Tujuan itu cukup
jelas ditegaskan oleh firman Allah mengenai keadaan pemilik harta yang
berkewajiban mengeluarkan harta zakat. FirmanNya : “Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah buat mereka, sesungguhnya
doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka”.
Pajak
tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad
lamanya menolak tujuan lain pada pajak, selain menghasilkan pembiayaan (uang)
untuk mengisi kas negara (Mazhab Netral Pajak). Setelah timbul kemajuan
berfikir dan terjadi perubahan sosial politik dan ekonomi, maka mazhab tersebut
menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu, seperti anjuran untuk derma,
menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau untuk mengurangi
perbedaan si kaya dan si miskin dan lain-lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan
sampingan diluar tujuan utama, yaitu tujuan keuangan, akan tetapi para
perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para ahli fikir
di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari jangkauan tujuan-tujuan
materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat[9].
D.
Hubungan antara Zakat dengan Pajak.
Ada
empat pendapat yang berbeda tentang bagaimana hubungan zakat dan pajak, yaitu :
1.
Zakat
dan Pajak adalah dua kewajiban sekaligus terhadap agama dan negara.
Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya fiqh az-Zakah. Qardhawi memandang bahwa
zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang sama-sama wajib atas diri kaum
Muslim. Hanya saja pajak diberlakukan untuk kondisi tertentu.
2.
Zakat
adalah kewajiban terhadap agama, dan pajak adalah kewajiban terhadao negara.
Pendapat ini dikemukakan oleh Gazy Inayah dalam bukunya “Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak”. Kelompok ini
berpendapat bahwa ada pemisahan kekuasaan antara Tuhan dengan raja, dimana
zakat merupakan hak Allah SWT dan pajak adalah hak raja/kaisar (negara).
Pendapat ini menganut paham sekularisme yang memisahkan agama dan negara.
3.
Zakat
adalah roh dan pajak adalah badannya. Roh dan badan tak
mungkin dipisahkan. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Drs. Masdar F
Mas’udi, dalam bukunya Reinterpretasi
Pendayagunaan ZIS, Menuju Efektivitasan Pemanfaatan Zakat, Infaq, Sedekah, dan
buku lainnya Agama Keadilan, Risalah
Zakat (Pajak) Dalam Islam, yang menyebutkan bahwa “pajak itulah zakat”.
Artinya, jika seseorang sudah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat.
Menurut Masdar, zakat adalah landasan teorinya, sedangkan praktik sebenarnya
adalah pajak.
4.
Pajak
tidak wajib bahkan haram. Pendapat ini dikemukakan antara
lain oleh Dr. Hasan Turabi dari Sudan dalam bukunya Principles of Governance, Freedom, and Responsbility in Islam.
Pendapat ini dilandasi oleh kekhawatiran Ulama, jika pajak dibolehkan maka akan
dapat menjadi alat penindas rakyat oleh penguasa.
Beberapa
ekonom Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat memenuhi
beberapa persyaratan perpajakan. Sumbangan yang memenuhi tiga persyaratan
dibawah ini, oleh para ahli ekonomi dianggap sebagai pajak, yaitu : (1)
pembayaran yang diwajibkan, (2) tidak ada balasan atau imbalan, dan (3)
diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara. Zakat memang memenuhi
persyaratan pertama dan kedua, sedangkan persyaratan ketiga tidak, karena hanya
dikenakan kepada orang Muslim saja. Oleh karena itu, zakat itu bukanlah pajak
dalam arti yang sebenarnya, melainkan pajak khusus yang hanya diwajibkan kepada
umat Islam di suatu negara.
Demikian
pula halnya dengan pajak, ia bukanlah zakat dalam arti sesungguhnya. Pajak
berada pada posisi dibelakang sesudah ditunaikannya kewajiban yang sama oleh
subyek yang sama, yaitu kaum Muslim. Adanya pajak bukan disebabkan adanya
harta, melainkan karena adanya kewajiban membantu sesama Muslim, membela dan
mempertahankan Daulah Islamiyah agar terjaganya Umat Islam dari ancaman musuh
dan ketenangan dalam beribadah.
Oleh
sebab itu, kewajiban pajak (dharibah)
ini tidak mungkin akan dibebankan kepada non-Muslim, dimana mereka tak akan
bersedia membela daulah (negara) yang tidak diyakininya sebagai sebuah
kebenaran. Oleh sebab itu, hanya kaum Muslim yang diwajibkan membayar pajak
ini. Hanya kaum Muslim yang punya keyakinan bahwa pajak yang mereka keluarkan
adalah untuk kemashlahatan umat dan kejayaan Islam sebagai ad-Dinul Haq, yang harus dibela dan dipertahankan sepanjang masa[10].
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesimpulan
yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa yang dimaksud dengan pajak
menurut para ahli Ekonomi Kontemporer adalah pajak sebagai kewajiban untuk
membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang yang
bersifat mengikat tanpa adanya imbalan (prestasi) tertentu dari negara yang
disesuaikan dengan kemampuan si pemilik harta dan hasilnya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran atau kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan
untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh negara. Sedangkan zakat adalah hak tertentu yang
diwajibkan Allah SWT terhadap harta kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi
mereka, yang di dalam Qur’an disebut kalangan fakir miskin, dan mustahik
lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri
kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Zakat
dan pajak mempunyai beberapa unsur pokok yang sama diantaranya adalah dari segi
paksaannya zakat dan pajak merupakan sama-sama suatu kewajiban yang suatu saat
harus atau dipaksa untuk dikeluarkan oleh pemiliknya, dari segi pengelolaannya
zakat dan pajak juga dapat dikelola dan diatur pembayarannya oleh negara
melalui badan-badannya, dari segi tujuannya zakat dan pajak sama-sama memiliki
tujuan yang mulia yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, dari segi imbalannya
zakat dan pajak sama-sama tidak mendapatkan imbalan secara langsung baik dari
pemerintah maupun dari Tuhan.
Selain
mempunyai beberapa unsur pokok yang sama, zakat dan pajak juga mempunyai
beberapa perbedaan, diantara perbedaan antara zakat dan pajak adalah dari segi
nama dan etiketnya perbedaan antara zakat dan pajak mulai nampak, baik arti
maupun kiasannya. Kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh, dan berkah.
Syariat Islam memilih kata tersebut (zakat) untuk mengungkapkan arti dari
bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik
lainnya, berbeda dengan gambaran dalam kata pajak. Sebab kata Dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah,
atau upeti dan sebagainya.Yaitu sesuatu yang mesti dibayar, sesuatu yang
menjadi beban. Demikian biasanya orang memandang pajak sebagai paksaan dan
beban yang berat. Selain itu perbedaan antara zakat dan pajak terlihat dari
segi sasaran dan hakikatnya, bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan bagi orang
Islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadaNya.
Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semanat-mata tak ada hubungannya
dengan makna ibadat dan mendekatkan diri. Dan pajak juga diberikan ataupun
disetorkan oleh siapapun tanpa memandang apakah dia Muslim atau tidak. Perbedaan
antara zakat dan pajak juga terlihat dari segi ketentuan dan nisabnya, zakat
adalah hak yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai pembuat syariat. Dia lah yang
menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu
terhadap harta yang kurang dari senisab, berbeda dengan pajak yang tergantung
dengan kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, prosentase, harga
dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak itu tergantung
pada penguasa , sesuai dengan kebutuhan. Selain itu zakat dan pajak juga
terlihat berbeda dari segi kelangsungan dan kelestariannya, zakat adalah
kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selagi
Islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban itu tak akan dapat
dihapuskan oleh siapapun, sedangkan pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan
terus menerus, baik mengenai macam, presentase dan kadarnya. Dan lain
sebagainya perbedaan zakat dan pajak seperti yang ada dalam makalah ini.
Selain
ada perbedaan dan persamaannya, zakat dan pajak juga mempunyai hubungan,
tentang hubungan antara zakat dan pajak ini para ahli mempunyai perbedaan
pendapat, perbedaan pendapat itu dikemukakan oleh empat ahli hukum islam,
perbedaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut, yang pertama adalah
pendapat dari Dr. Yusuf Qardhawi tentang hubungan antara zakat dan pajak bahwa
zakat dan pajak adalah dua kewajiban sekaligus terhadap agama dan negara,
sedangkan menurut Gazy Inayah, hubungan antara zakat dan pajak adalah zakat
adalah kewajiban terhadap agama, dan pajak adalah kewajiban terhadao negara.
Pendapat ketiga adalah dari Farid Masdar Mas’udi dari Organisasi Nahdlatul
Ulama yang mengatakan bahwa zakat adalah roh dan pajak adalah badannya. Dan
yang terakhir adalah pendapat dari Dr. Hasan Turabi dari Sudan yang mengatakan bahwa
pajak tidak wajib bahkan haram.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Inayah,
Ghazy. 2003. Teori Komprehensip tentang
Zakat dan Pajak. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.
2. Qardhawi,
Yusuf. 1973. Hukum Zakat. Jakarta :
PT Pustaka Litera AntarNusa.
3. Hafidhudin,
Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian
Modern. Jakarta : Penerbit Gema Insani.
4. Gusfahmi.
2011. Pajak Menurut Syariah. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada.
5. Syadzali,
Munawir. 1991. Zakat dan Pajak.
Jakarta : Penerbit Bina Rena Pariwara.
6. Mas’udi,
Farid Masdar. 2010. Pajak Itu Zakat.
Bandung : Pustaka Mizan.
7. Mas’udi,
Masdar F. 1993. Agama Keadilan: Risalah
Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus.
[1]
Gazi Inayah, Teori
Komprehensip tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003).
Hlm. 1-2.
[2] Dr.
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm.
999.
[3]
Gazi Inayah, Teori
Komprehensip tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003).
Hlm. 3-6.
[4] Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat
(Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm. 999.
[5]
DR.KH.Didin Hafidhuddin,
M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002). Hlm.
52-55.
[6] Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat
(Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm. 1000.
[7]
Dr. KH. Didin Hafidhuddin,
M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2007). Hlm. 56.
[8] Dr.
KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema
Insani, 2007). Hlm. 58.
[10]
Gusfahmi, SE., MA, Pajak
Menurut Syariah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011). Hlm. 186-188.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini