Advertisements

Senin, 13 April 2015

Zakat dan Pajak

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Zakat dan pajak, merupakan term yang berbeda apabila kita lihat, keduanya seperti seolah-olah mempunyai definisi yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Bahwa zakat itu merupakan suatu beban yang diwajibkan oleh Tuhan di dalam agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban yang menjadi beban bagi para penduduk suatu negara untuk membayarnya sebagai bentuk bahwa dia ikut membangun negaranya. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang keilmuan ternyata zakat dan pajak tersebut mempunyai hubungan yang cukup dekat, mempunyai persamaan-persamaan dan juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat menarik untuk dibahas. Atas dasar masalah tersebut makalah ini disusun, selain itu untuk memenuhi tugas individu dalam mata kuliah Hukum Zakat.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian atau definisi dari zakat dan pajak ?
2.      Apa sajakah unsur-unsur persamaan antara zakat dan pajak ?
3.      Apa sajakah unsur-unsur perbedaan antara zakat dan pajak ?
4.      Bagaimana hubungan antara zakat dan pajak ?

C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian atau definisi dari zakat dan pajak.
2.      Untuk mengetahui unsur-unsur persamaan antara zakat dan pajak.
3.      Untuk mengetahui unsur-unsur perbedaan antara zakat dan pajak.
4.      Untuk mengetahui hubungan antara zakat dan pajak.

D.    Metode Penulisan.
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka.


 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Zakat dan Pajak.
Pakar Ekonomi kontemporer mendefinisikan pajak sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan (prestasi) tertentu dari negara yang disesuaikan dengan kemampuan si pemilik harta dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran atau kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara. Pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Pajak adalah membayar tunai, artinya seorang mukallaf membayarnya dengan uang tunai tidak berupa barang.
2.      Pajak adalah kewajiban yang mengikat, artinya bahwa pajak adalah kewajiban yang dipungut dari setiap individu sebagai suatu keharusan.
3.      Pajak adalah kewajiban pemerintah, pejabat-pejabat pemerintah atau lembaga yang berwenang seperti majelis-majelis daerah, majelis kota, dan desa mewajibkan pajak kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umum.
4.      Pajak adalah kewajiban yang bersifat final, artinya seorang mukallaf tidak berhak untuk menolak atau menuntut sekalipun tidak tercipta suatu kemanfaatan, hal ini berbeda dengan orang yang berhutang dimana dia boleh menarik hutangnya dan mengembalikan bila sudah jatuh tempo.
5.      Pajak tidak ada imbalannya, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan atau fasilitas kesejahteraan.
6.      Pajak adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan negara. Para pakar Ekonomi membatasi sasaran pajak untuk menutupi kebutuhan umum[1].
Zakat menurut para ahli fikih adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap harta kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang di dalam Qur’an disebut kalangan fakir miskin, dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya[2]. Sedangkan menurut para pemikir Ekonomi Islam modern, zakat didefinisikan sebagai Harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang kepada masyarakat umum atau individual yang bersifat mengikat, final, tanpa imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta. Zakat itu dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam. Sehingga dari definisi tersebut kita dapat membatasi unsur-unsur zakat sebagai berikut :
1.      Zakat adalah kewajiban yang bersifat material, seorang mukallaf muslim membayarkannya baik secara tunai berupa uang maupun berupa barang.
2.      Zakat adalah kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang muslim mukallaf adalah suatu keharusan.
3.      Zakat adalah kewajiban final, artinya orang Islam tidak boleh menolak, tidak ada hak bagi orang Islam untuk menentang dan menuntutnya.
4.      Zakat adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh kemanfaatan atau fasilitas yang seimbang bagi pembayar zakat, tidak ada hubungan antara kewajiban membayar zakat dengan imbalan yang seimbang setelah membayar zakat.
5.      Zakat adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan Islam. Alokasi zakat adalah untuk golongan delapan penerima zakat, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qur’an[3].

B.     Persamaan Antara Zakat dan Pajak.
Terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak, antara lain sebagai berikut :
a.       Unsur Paksaan.
Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak mau menunaikannya, penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat, wajib memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan[4]. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103. Dalam sebuah riwayat Abu Daud dikemukakan bahwa ketika banyak orang yang mengingkari kewajiban zakat di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau bersabda “ Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. Sesungguhnya zakat itu hak yang terkait dengan harta. Demi Allah, jika mereka menolak mengeluarkan zakat unta yang mereka tunaikan kepada Rasulullah saw, pasti aku akan memeranginya, karena penolakan tersebut.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Barangsiapa memberikannya (zakat) karena berharap mendapatkan pahala, maka baginya pahala. Dan barangsiapa yang enggan mengeluarkannya, kami akan mengambilnya (zakat), dan setengah untanya, sebagai salah satu ‘uzmah (kewajiban yang dibebankan kepada para hamba) oleh Allah SWT. Tidak sedikitpun dari harta itu yang halal bagi keluarga Muhammad.”
Demikian pula halnya seorang yang sudah termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib pajak melalaikan kewajibannya. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.
b.      Unsur Pengelola.
Asas pelaksanaan pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60. Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahiq, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus yang menangani zakat, yang memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan ‘amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya secara tepat. Dalam bab III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Disamping berkaitan dengan perintah Al-Qur’an, pengelolaan zakat oleh amil zakat ini mempunyai beberapa kelebihan atau keunggulan, antara lain :
1.      Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
2.      Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung menerima haknya dari para wajib zakat (muzakki).
3.      Untuk mencapai efisiensi, efektivitas dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
4.      Untuk memperlihatkan Syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintah yang islami.
Sementara itu dalam Bab II pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat melalui amil zakat, bertujuan :
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.      Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial,
3.      Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kedapa negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
c.       Dari Sisi Tujuan.
Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia, seperti digambarkan oleh Muhammad Said Wahbah yaitu sebagai berikut :
1.      Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam.
2.      Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
3.      Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana, seperti bencana alam maupun bencana lainnya.
4.      Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekeasan dalam masyarakat.
5.      Menyediakan suatu dana taktis dan khusus menyediakan biaya hidup para gelandangan, para pengangguran, dan para tunasosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu.
Pada akhirnya, zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman. Demikian pula pajak, dalam beberapa tujuan relatif sama dengan tujuan tersebut diatas, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyak. Sementara itu, Sjechul hadi Permono mengemukakan bahwa terdapat kesamaan dalam tujuan zakat dengan pajak yaitu sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spriritual[5].
d.      Dari Sisi Imbalan.
Diantara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dengan zakat,  pezakat (muzakki) tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat Islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan, dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat Islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya[6].
C.     Perbedaan antara Zakat dan Pajak.
Selain mempunyai titik-titik persamaan, zakat dan pajak juga mempunyai beberapa perbedaan diantara keduanya. Diantara perbedaan antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut :
1.      Dari Segi Nama dan Etiketnya.
Perbedaan antara zakat dan pajak sepintas lalu nampak dari etiketnya, baik arti maupun kiasannya. Kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh, dan berkah. Syariat Islam memilih kata tersebut (zakat) untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik lainnya, berbeda dengan gambaran dalam kata pajak. Sebab kata Dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah, atau upeti dan sebagainya.  Yaitu sesuatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Demikian biasanya orang memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang berat. Kadangkala diartikan pula dengan al-jizyah yang berarti pajak tanah (upeti), yang diserahkan oleh ahli dzimmah (orang-orang yang tetap pada kekafiran, tetapi tunduk aturan pemerintahan Islam). Allah SWT befirman dalam surat at taubah ayat 29 :
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ  
 Yang artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah dan beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Tafsir Departemen Agama Republik Indonesia pada catatan kaki no. 638, memberikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan jizyah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan bagi jaminan keamanan diri mereka sendiri[7].
Adapun kata zakat dan makna yang terkandung didalamnya, seperti kesucian, pertumbuhan dan berkat, mengisyaratkan bahwa harta yang ditimbun  dan dipergunakan untuk kesenangan dirinya  serta tidak dikeluarkan hak yang diwajibkan Allah atasnya akan menjadi harta yang kotor dan najis. Harta tersebut akan menjadi suci bila kita berzakat dan untuk menghilangkan segala kotoran , sifat tamak dan kikir. Demikian pula itu mengisyaratkan bahwa harta yang nampaknya berkurang menurut penglihatan orang tapi sebenarnya ia bertambah, tumbuh dan bersih dalam pandangan orang yang melihat dengan mata batinnya, sebagaimana firman Allah yang artinya “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”.
            Demikian pula zakat menyatakan  bahwa kebersihan, pertumbuhan dan berkah itu bukan hanya bagi hartanya saja, tapi juga bagi manusia, yaitu bagi yang memperoleh zakat dan bagi yang memberinya. Yang memperoleh zakat menjadi suci dirinya dari rasa dengki dan rasa benci, sehingga kehidupan tumbuh berkembang, karena kebutuhan bagi diri dan keluarganya terpenuhi. Adapun si pemberi zakat, menjadi suci dari kotoran  sifat tamak dan kikir. Dirinya menjadi sudi dengan pengorbanan dan sedekah, sehingga berkahlah dirinya, keluarganya dan hartanya.
2.      Mengenai Hakikat dan Sasarannya.
Diantara segi perbedaan antara zakat dan pajak ialah, bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan bagi orang Islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadaNya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semanat-mata tak ada hubungannya dengan makna ibadat dan mendekatkan diri. Dengan demikian untuk menunaikan zakat dengan diterima Allah SWT disyaratkan niat, karena sesuatu amal bukanlah ibadat apabila dilakukan tanpa niat. Nabi SAW bersabda yang artinya “Sesungguhnya sahnya amal itu dengan niat”. Oleh karena itu, zakat dalam fikih Islam dimasukkan kedalam bab ibadat, karena mengikuti jejak Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan zakat bersama shalat. Dalam Qur’an zakat disebutkan lebih dari dua puluh kali, baik dalam surah yang diturunkan di Makkah maupun di Madinah. Adapun dalam sunnah hampir tak terhitung banyaknya, seperti dalam hadits Jibril yang masyhur dan hadits-Islam didirikan diatas lima hal-dan hadits-hadits lain. Shalat dan zakat termasuk rukun Islam yang lima, dan termasuk empat macam ibadah. Karena zakat itu ibadat, syiar agama dan rukun Islam, maka tidak diwajibkan kecuali kepada kaum Muslimin. Syariat Islam yang bersifat toleran tidak mewajibkan suatu kewajiban harta yang bercorak ibadat dan syiar Islam itu kepada mereka yang bukan Islam. Berbeda dengan pajak yang diwaibkan kepada semua orang, sesuai dengan ketentuan wajib setor.
3.      Mengenai Batas Nisab dan Ketentuannya.
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai pembuat syariat. Dia lah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang dari senisab. Juga Allah memberikan ketentuan atas kewajiban zakat itu dari seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Seorangpun tak boleh mengubah atau mengganti apa yang telah ditentukan oleh syariat. Tidak boleh juga menambah atau mengurangi. Seperti nishab zakat emas perak adalah 85 gram dan presentase zakatnya adalah 2,5 persen, demikian pula zakat harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan komoditas-komoditas lainnya. Demikian pula pemanfaatan dan penggunaan zakat tidak boleh keluar dari delapan asnaf[8]. Oleh karena itu kita tidak membenarkan mereka yang berbuat semana-mena menyeru untuk menambah ketentuan mengenai kewajiban itu karena adanya perubahan ekonomi, sosial yang terjadi pada zaman sekarang. Berbeda dengan pajak yang tergantung dengan kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, prosentase, harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak itu tergantung pada penguasa , sesuai dengan kebutuhan.
4.      Mengenai Kelestarian dan Kelangsungannya.
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selagi Islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban itu tak akan dapat dihapuskan oleh siapapun. Seperti shalat, ia merupakan tiang agama dan pokok ajaran Islam. Adapun pajak, tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus, baik mengenai macam, presentase dan kadarnya. Tiap pemerintah dapat mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan para cendekia, bahkan adanya pajak itu sendiri tidak kekal. Ia akan ada jika dibutuhkan dan lenyap jika tidak dibutuhkan lagi.
5.      Mengenai pengeluarannya.
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan perkataan dan perbuatannya. Sasaran itu terang dan jelas. Setiap muslim dapat mengetahuinya, setiap muslim dapat mengetahuinya dan membagikan zakatnya sendiri, bila diperlukan. Sasaran itu adalah kemanusiaan dan keislaman. Adapun pajak dikeluarkan untuk membiayai kepentingan-kepentingan umum negara, sebagaimana ditetapkan peraturannya oleh penguasa.
Oleh karena itu anggaran zakat terpisah dari anggaran belanja negara secara umum. Zakat harus dikeluarkan melalui pos-pos yang telah ditentukan Qur’an, sebagai suatu kewajiban dari Allah SWT.
6.      Hubungannya dengan penguasa.
Dari sini dapat diketahui, bahwa pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, maka pemerintah pula yang memungutnya dan membuat ketentuan wajib pajak. Pemerintah pula yang berwenang untuk mengurangi besar pajak dalam keadaan dan kasus tertentu, bahkan berwenang pula mencabut suatu macam pajak atau semua, bila menghendaki. Adapun zakat adalah hubungan antara pezakat dengan Tuhannya. Allah lah yang memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat, semata-mata karena mengikuti perintah dan mengharap Ridha-Nya. Diterangkan-Nya berapa kadar zakat itu dan kepada siapa harus diberikan. Apabila tidak ada pemerintah Islam yang dapat menghimpun zakat dari para wajib zakat, dan membagikan kepada para mustahiknya. Orang Islam diperintah oleh agama untuk membagikan zakatnya sendiri kepada mereka yang berhak. Kewajiban zakat tidak gugur daripadanya karena adanya sebab tadi, seperti halnya shalat. Seorang Muslim wajib mendirikan shalat sekuasanya, baik dirumah ataupun ditempat lain, meskipun ditempat itu tidak terdapat Masjid. Maka shalat itu selamanya tidak boleh ditinggal demikian pula zakat.
7.      Maksud dan Tujuan.
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur itu tersirat pada kata zakat yang terkandung didalamnya. Tujuan itu cukup jelas ditegaskan oleh firman Allah mengenai keadaan pemilik harta yang berkewajiban mengeluarkan harta zakat. FirmanNya : “Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah buat mereka, sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka”.
Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak tujuan lain pada pajak, selain menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara (Mazhab Netral Pajak). Setelah timbul kemajuan berfikir dan terjadi perubahan sosial politik dan ekonomi, maka mazhab tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu, seperti anjuran untuk derma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau untuk mengurangi perbedaan si kaya dan si miskin dan lain-lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan diluar tujuan utama, yaitu tujuan keuangan, akan tetapi para perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para ahli fikir di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari jangkauan tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat[9].
D.    Hubungan antara Zakat dengan Pajak.
Ada empat pendapat yang berbeda tentang bagaimana hubungan zakat dan pajak, yaitu :
1.      Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban sekaligus terhadap agama dan negara. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya fiqh az-Zakah. Qardhawi memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang sama-sama wajib atas diri kaum Muslim. Hanya saja pajak diberlakukan untuk kondisi tertentu.
2.      Zakat adalah kewajiban terhadap agama, dan pajak adalah kewajiban terhadao negara. Pendapat ini dikemukakan oleh Gazy Inayah dalam bukunya “Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak”. Kelompok ini berpendapat bahwa ada pemisahan kekuasaan antara Tuhan dengan raja, dimana zakat merupakan hak Allah SWT dan pajak adalah hak raja/kaisar (negara). Pendapat ini menganut paham sekularisme yang memisahkan agama dan negara.
3.      Zakat adalah roh dan pajak adalah badannya. Roh dan badan tak mungkin dipisahkan. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Drs. Masdar F Mas’udi, dalam bukunya Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, Menuju Efektivitasan Pemanfaatan Zakat, Infaq, Sedekah, dan buku lainnya Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, yang menyebutkan bahwa “pajak itulah zakat”. Artinya, jika seseorang sudah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat. Menurut Masdar, zakat adalah landasan teorinya, sedangkan praktik sebenarnya adalah pajak.
4.      Pajak tidak wajib bahkan haram. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Dr. Hasan Turabi dari Sudan dalam bukunya Principles of Governance, Freedom, and Responsbility in Islam. Pendapat ini dilandasi oleh kekhawatiran Ulama, jika pajak dibolehkan maka akan dapat menjadi alat penindas rakyat oleh penguasa.
Beberapa ekonom Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat memenuhi beberapa persyaratan perpajakan. Sumbangan yang memenuhi tiga persyaratan dibawah ini, oleh para ahli ekonomi dianggap sebagai pajak, yaitu : (1) pembayaran yang diwajibkan, (2) tidak ada balasan atau imbalan, dan (3) diwajibkan kepada seluruh masyarakat suatu negara. Zakat memang memenuhi persyaratan pertama dan kedua, sedangkan persyaratan ketiga tidak, karena hanya dikenakan kepada orang Muslim saja. Oleh karena itu, zakat itu bukanlah pajak dalam arti yang sebenarnya, melainkan pajak khusus yang hanya diwajibkan kepada umat Islam di suatu negara.
Demikian pula halnya dengan pajak, ia bukanlah zakat dalam arti sesungguhnya. Pajak berada pada posisi dibelakang sesudah ditunaikannya kewajiban yang sama oleh subyek yang sama, yaitu kaum Muslim. Adanya pajak bukan disebabkan adanya harta, melainkan karena adanya kewajiban membantu sesama Muslim, membela dan mempertahankan Daulah Islamiyah agar terjaganya Umat Islam dari ancaman musuh dan ketenangan dalam beribadah.
Oleh sebab itu, kewajiban pajak (dharibah) ini tidak mungkin akan dibebankan kepada non-Muslim, dimana mereka tak akan bersedia membela daulah (negara) yang tidak diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, hanya kaum Muslim yang diwajibkan membayar pajak ini. Hanya kaum Muslim yang punya keyakinan bahwa pajak yang mereka keluarkan adalah untuk kemashlahatan umat dan kejayaan Islam sebagai ad-Dinul Haq, yang harus dibela dan dipertahankan sepanjang masa[10].


PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa yang dimaksud dengan pajak menurut para ahli Ekonomi Kontemporer adalah pajak sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan (prestasi) tertentu dari negara yang disesuaikan dengan kemampuan si pemilik harta dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran atau kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara. Sedangkan zakat adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap harta kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang di dalam Qur’an disebut kalangan fakir miskin, dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Zakat dan pajak mempunyai beberapa unsur pokok yang sama diantaranya adalah dari segi paksaannya zakat dan pajak merupakan sama-sama suatu kewajiban yang suatu saat harus atau dipaksa untuk dikeluarkan oleh pemiliknya, dari segi pengelolaannya zakat dan pajak juga dapat dikelola dan diatur pembayarannya oleh negara melalui badan-badannya, dari segi tujuannya zakat dan pajak sama-sama memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, dari segi imbalannya zakat dan pajak sama-sama tidak mendapatkan imbalan secara langsung baik dari pemerintah maupun dari Tuhan.
Selain mempunyai beberapa unsur pokok yang sama, zakat dan pajak juga mempunyai beberapa perbedaan, diantara perbedaan antara zakat dan pajak adalah dari segi nama dan etiketnya perbedaan antara zakat dan pajak mulai nampak, baik arti maupun kiasannya. Kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh, dan berkah. Syariat Islam memilih kata tersebut (zakat) untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik lainnya, berbeda dengan gambaran dalam kata pajak. Sebab kata Dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba yang artinya utang, pajak tanah, atau upeti dan sebagainya.Yaitu sesuatu yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Demikian biasanya orang memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang berat. Selain itu perbedaan antara zakat dan pajak terlihat dari segi sasaran dan hakikatnya, bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan bagi orang Islam, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadaNya. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara semanat-mata tak ada hubungannya dengan makna ibadat dan mendekatkan diri. Dan pajak juga diberikan ataupun disetorkan oleh siapapun tanpa memandang apakah dia Muslim atau tidak. Perbedaan antara zakat dan pajak juga terlihat dari segi ketentuan dan nisabnya, zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai pembuat syariat. Dia lah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang dari senisab, berbeda dengan pajak yang tergantung dengan kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, prosentase, harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak itu tergantung pada penguasa , sesuai dengan kebutuhan. Selain itu zakat dan pajak juga terlihat berbeda dari segi kelangsungan dan kelestariannya, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selagi Islam dan kaum muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban itu tak akan dapat dihapuskan oleh siapapun, sedangkan pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus, baik mengenai macam, presentase dan kadarnya. Dan lain sebagainya perbedaan zakat dan pajak seperti yang ada dalam makalah ini.
Selain ada perbedaan dan persamaannya, zakat dan pajak juga mempunyai hubungan, tentang hubungan antara zakat dan pajak ini para ahli mempunyai perbedaan pendapat, perbedaan pendapat itu dikemukakan oleh empat ahli hukum islam, perbedaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut, yang pertama adalah pendapat dari Dr. Yusuf Qardhawi tentang hubungan antara zakat dan pajak bahwa zakat dan pajak adalah dua kewajiban sekaligus terhadap agama dan negara, sedangkan menurut Gazy Inayah, hubungan antara zakat dan pajak adalah zakat adalah kewajiban terhadap agama, dan pajak adalah kewajiban terhadao negara. Pendapat ketiga adalah dari Farid Masdar Mas’udi dari Organisasi Nahdlatul Ulama yang mengatakan bahwa zakat adalah roh dan pajak adalah badannya. Dan yang terakhir adalah pendapat dari Dr. Hasan Turabi dari Sudan yang mengatakan bahwa pajak tidak wajib bahkan haram.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Inayah, Ghazy. 2003. Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.
2.      Qardhawi, Yusuf. 1973. Hukum Zakat. Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa.
3.      Hafidhudin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta : Penerbit Gema Insani.
4.      Gusfahmi. 2011. Pajak Menurut Syariah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
5.      Syadzali, Munawir. 1991. Zakat dan Pajak. Jakarta : Penerbit Bina Rena Pariwara.
6.      Mas’udi, Farid Masdar. 2010. Pajak Itu Zakat. Bandung : Pustaka Mizan.
7.      Mas’udi, Masdar F. 1993. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus.


[1] Gazi Inayah, Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003). Hlm. 1-2.
[2]  Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm. 999.
[3] Gazi Inayah, Teori Komprehensip tentang Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003). Hlm. 3-6.
[4] Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm. 999.
[5] DR.KH.Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002). Hlm. 52-55.
[6] Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1973). Hlm. 1000.
[7] Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2007). Hlm. 56.
[8]  Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2007). Hlm. 58.
[9] Dr. Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1979). Hlm. 1000-1005.
[10] Gusfahmi, SE., MA, Pajak Menurut Syariah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011). Hlm. 186-188.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.