Advertisements

Minggu, 12 April 2015

Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Khusus yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung selaku peradilan tertinggi di Republik Indonesia ini. Peradilan Agama ini, seperti ketiga peradilan khusus lainnya yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai kewenangan-kewenangan dalam mengadili perkara perdata tertentu yang khusus bagi Umat Islam di Indonesia[1]. Hal tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai Peradilan Islam yang telah berdiri sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, tentulah Peradilan Agama ini tak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi mengingat tampuk Pemerintahan Indonesia pernah dipegang oleh berbagai macam orang dengan latarbelakang, politik dan tujuan yang berbeda, tentulah hal tersebut membawa dampak terhadap keberadaan Peradilan Agama baik secara material maupun immaterial, termasuk pada Masa Pemerintahan Penjajahan Jepang di Indonesia. Oleh karena itulah makalah ini akan mengupas mengenai dinamika yang terjadi pada Peradilan Agama yang akan difokuskan pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia. Selain itu Makalah ini juga diajukan guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Peradilan Islam dan Peradilan Islam Indonesia ?
2.      Bagaimana keadaan Indonesia pada saat masa penjajahan Jepang ?
3.      Bagaimana dinamika dan kondisi Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang ?
C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Peradilan Islam dan Peradilan Islam Indonesia.
2.      Untuk mengetahui bagaimana keadaan Indonesia pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui dinamika dan kondisi Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang.
D.    Metode Penulisan.
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .


PEMBAHASAN

A.    Peradilan Islam dan Peradilan Agama Indonesia.
Kata Peradilan berasal dari kata adil, mendapat awalan per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari kata Qadla yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan.
Dalam Islam, peradilan disebut qadla yang berarti menyelesaikan, seperti firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 37 yang berbunyi :
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur
Yang artinya : “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (mencerainya).
Dan ada juga yang berarti menunaikan, seperti firman Allah dalam surat Al Jumu’ah ayat 10 :
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$#
Yang artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi.”
Disamping arti menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, qadla dapat pula berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan[2]. Menurut para pakar peradilan, arti yang terakhir itulah yang menurutnya yang paling signifikan atau paling benar. Pada asalnya, arti dari kata hukum berarti menghalangi atau mencegah, qadli juga bisa disebut hakim karena ia bertugas untuk menghalangi orang yang dizalimi dari penganiayaan. Jika ada seeorang yang mengatakan “hakim telah menghukumkan begini” itu berarti hakim telah meletakkan suatu hak pada tempatnya atau mengembalikan sesuatu kepada yang berhak[3].
Putusan sebagai produk dari peradilan, erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Di dalam Islam, apabila seseorang berijtihad dan hasilnya salah maka dia mendapatkan satu pahala. Sedangkan apabila ijtihad yang dilakukannya tersebut hasilnya benar maka dia mendapatkan dua pahala, yaitu satu pahala karena ia berusaha untuk berijtihad, dan satu pahala lagi untuk kebenaran hasil ijtihad yang telah ia lakukan tersebut.
Untuk itu perlu dijelaskan perbedaan antara qadla sebagai putusan peradilan dengan ifta’ sebagai satu fatwa. Fatwa adalah jawaban dari suatu pertanyaan yang hukumnya tidak begitu jelas, dan diajukan kepada ahli dibidangnya. Memberikan fatwa pada hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya, seorang mufti harus memahami permasalahan yang dihadapinya dan ia harus orang yang benar baik tingkah lakunya, perkataanya dan perbuatannya.
Fatwa merupakan hasil ijtihad dari seorang mujtahid, ia mengistimbatkan hukum untuk dirinya sendiri dan juga orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi maupun hal-hal yang belum terjadi apabila terdapat ketidakjelasan hukum dalam hal tersebut.
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik benang merah mengenai perbedaan fatwa dengan qadla sebagai putusan hakim.
Pertama, mufti dapat menolak untuk memberikan suatu fatwa sedangkan qadla atau peradilan tidak boleh menolak para pihak yang mengajukan permohonan keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan tersebut belum ada.
Kedua, qadla dasarnya atau didasarkan pada fakta (kenyataan) yang dicari oleh hakim, sehingga hakim harus memutus sesuai dengan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya adalah ilmu (pengetahuan), sehingga mufti harus memberikan fatwa sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Ketiga, putusan itu mempunyai daya paksa atau harus dituruti, sehingga negara dapat memaksakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, sedangkan fatwa tidak mengharuskan seseorang untuk mengikutinya sehingga negara tidak dapat campur tangan untuk melaksanakan fatwa tersebut.
Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedangkan qadla boleh atau bisa dibatalkan oleh lembaga yang lebih tinggi.
Kelima, fatwa merupakan produk pribadi sedangkan qadla (putusan) adalah produk negara[4].
Kata Peradilan Islam jika tidak digabung atau disambung dengan Kata “Indonesia” maka yang dimaksud adalah peradilan menurut konsep Islam secara universal. Oleh karena itu, negara Islam atau negara yang mayoritas muslim asas peradilannya sama dengan peradilan agama di Indonesia, hal itu dikarenakan hukum Islam itu satu dan dapat diberlakukan dimanapun.
Untuk menghindari kekeliruan dalam pemahaman, Peradilan Islam di Indonesia cukup dengan menggunakan istilah Peradilan Agama[5].
Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu dari keempat lingkungan Pengadilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga kekuasaan kehakiman yang lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ketiganya berada dibawah naungan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sedang dalam undang-undang yang baru, yakni undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi dimana Mahkamah Konstitusi tersebut berada sejajar dengan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia. Serta dalam perkara-perkara Perdata Islam tertentu dan tidak mencakup seluruh perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, jenis perkara yang diadilinya adalah jenis perkara menurut Agama Islam. Dirangkaikannya kata Peradilan Islam dengan di Indonesia adalah jenis perkara yang diadili tidaklah mencakup segala macam perkara menurut peradilan Islam secara universal. Tegasnya, Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disseuaikan dengan keadaan Indonesia.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus, yang berwenang dalam perkara perdata Islam tertentu, dan hanya bagi orang-orang Islam Indonesia.
Basiq Djalil di dalam bukunya mengkritisi kata Peradilan Agama tersebut. Pemakaian kata Peradilan Agama terebut dinilai kurang tepat walaupun telah dipakai sejak jaman Belanda (God Dienstrechtspraak) dengan alasan bahwa apa yang diperiksa atau diadili dalam peradilan agama bukanlah pelanggaran kaidah agama, melainkan pelanggaran atau sengketa hukum perdata Islam yang bersifat duniawi[6].
B.     Kondisi Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia.
Gerakan invasi Jepang, dimulai dengan menduduki daerah-daerah yang strategis. Pada 11 Januari 1942 Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Pendaratan selanjutnya adalah di Samarinda, Balikpapan, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Minahasa, Bali dan Ambon. Dari daerah-daerah tersebutlah Jepang mengepung kekuatan Belanda yang berada di Jawa.
Gerakan Jepang ini dilanjutkan dengan membuat propaganda diantaranya adalah propaganda 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Dengan propaganda ini Jepang berhasil merebut perhatian masyarakat Indonesia agar ikut membantu untuk mengusir Belanda yang telah menjajah tiga setengah abad lamanya. Dalam waktu yang singkat, Jepang mampu menguasai daerah-daerah strategis di luar pulau jawa dan kemudian mendarat di teluk Banten, Eretan Wetan dan Kragan untuk menaklukkan Batavia (Jakarta) dan Bandung[7].
Pada akhirnya Belanda tak kuasa lagi untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah kepada Jepang pada tanggal 7 Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral Teer Porten kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati. Penyerahan tanpa syarat tersebut mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 9 Maret 1942, dan sejak saat itu Jepang mulai resmi menduduki tanah air.
Sejak resmi menduduki Tanah Air, Jepang langsung membagi kekuasaan militer untuk melakukan pertanahan dan mengatur susunan pemerintahan. Jepang membagi kekuasaan militer menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipegang oleh Rigun (Angkatan Darat) dan Kaigun (Angkatan Laut). Tiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Didaerah Jawa dan Madura dengan pusatnya di Batavia yang berada dibawah kendali Pasukan Angkatan Darat Jepang.
2.      Daerah Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya di Singapura yang juga dibawah kendali Pasukan Angkatan Darat Jepang.
3.      Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang berada dibawah kendali Pasukan Angkatan Laut Jepang.
Selain membagi daerah militer dengan tiga daerah tersebut, untuk memperkuat posisi Jepang di Indonesia, Jepang mengangkat beberapa tokoh penting seperti Husein Djojodiningrat, Sutardjo Kartohadikoesomo, R.M. Soerjo, dan Prof. Dr. Soepomo. Pengangkatan ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan juga untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang. Sedangkan di dalam Pemerintahan, Jepang membagi susunan Pemerintahan menjadi tiga, yaitu :
1.      Panglima Tentara Jepang (Gunsheireikan) yang saat itu dijabat oleh Letnan Jendral Hitoshi Imamura.
2.      Kepala Pemerintahan Militer (Gunseikan) yang kala itu dijabat oleh Seizaburo Okasaki.
3.      Koordinator Pemerintahan Militer Setempat (Gunseibu) yang dijabat oleh semacam gubernur setempat.
Dalam hal susunan pemerintahan, Jepang juga terpaksa mengangkat beberapa orang dari bangsa Indonesia, hal tersebut dilakukan Jepang karena Kapal yang mengangkut orang-orang dari Jepang yang dikirim ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang karam setelah ditembak menggunakan terpedo oleh Sekutu. Dalam hal ini Bangsa Indonesia merasa diuntungkan karena dapat belajar mengenai tata pemerintahan[8].
Setelah mengatur tata pemeritahan, Jepang mulai mengeluarkan aturan-aturan, diantaranya adalah UU Nomor 4 yang isinya adalah bahwa Bendera Jepanglah yang harus dipasang pada hari-hari besar, Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) yang boleh didengarkan, dan mulai saat itu kalender yang boleh digunakan adalah kalender Jepang.
Pada tanggal 1 Agustus 1943 keluar pengumuman Syaiko Syikikan tentang garis-garis besar mengikut sertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan. Beberapa tokoh Indonesia yang diangkat Jepang dalam pemerintahannya diantaranya adalah Hosein Djajadiningrat yang menjabat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, RM Soerjo dan Soetarjo Kartohadikusumo yang diangkat sebagai residen serta beberapa tokoh lain yang diangkat sebagai penasehat Bangsa Indonesia[9].
Semakin lama Jepang menduduki Indonesia, Jepang mulai mengeluarkan beberapa kebijakan yang merugikan dan menyengsarakan nasib Rakyat Indonesia diantaranya  mereka mengeksploitasi tenaga kerja manusia dengan program Kinrohosi (Kerja Bakti), mereka mengerahkan penduduk desa (laki-laki) untuk bekerja membangun instalasi-instalasi militer dan pertahanan Jepang. Penduduk Indonesia inilah yang kemudian dikenal dengan nama Romusha. Mereka tidak hanya dipekerjakan di Indonesia, tetapi sebagian juga dikirim ke luar negeri seperti Thailand, Filipina, Malaya dan Vietnam. Jumlah penduduk yang diambil oleh Jepang untuk bekerja ini sekitar 300.000 orang penduduk dan hanya kembali 70.000 penduduk dengan keadaan yang mengenaskan. Selain itu Jepang juga memperkerjakan gadis-gadis Indonesia sebagai penghibur di kamp-kamp mereka di Solo, Semarang, Jakarta, Sumatra Barat, dan Kalimantan.
Hal-hal diataslah yang menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa mereka telah diperdaya oleh Jepang sehingga Bangsa Indonesia segera melakukan perlawanan. Tercatat pernah terjadi beberapa perlawanan terhadap tentara Jepang di Indonesia seperti di Blitar, Indramayu, Aceh dan beberapa daerah lainnya.
Seiring berjalanya waktu, pada tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan sekutu, oleh karena itu, untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara Jepang mengeluarkan janji-janji kemerdekaannya termasuk kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI, tetapi usia BPUPKI ini hanya mampu bertahan beberapa bulan saja, karena dianggap tidak efektif oleh Jepang, maka BPUPKI ini dibubarkan dan diganti menjadi PPKI. Badan ini diresmikan dalam pertemuannya dengan tokoh-tokoh Indonesia dan menghasilkan keputusan untuk memberikan kemerdekaan Indonesia, dan memutuskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda terdahulu. Tetapi setelah mendengar berita menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 akhirnya kemerdekaan Bangsa Indonesia terwujud bukan karena PPKI tetapi karena Bangsa Indonesia itu sendiri.
C.     Politik Jepang terhadap Islam dan Respons Terhadapnya.
Kebijakan awal Jepang adalah berusaha menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak di Indonesia. Ini dilakukannya untuk mendukung tujuan utamanya mereka, yakni menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia, dalam rangka menopang perang Jepang dan rencana-rencananya bagi rencana dominasi mereka dalam jangka panjang terhadap asia timur dan asia tenggara. Pada masa awal perang bahkan sejak masa sebelumnya, pemerintah Jepang telah melancarkan propaganda untuk menarik para pemimpin Islam.
Pemerintahan Militer Jepang itu pada awalnya lebih menunjukkan minat untuk mendekati para pemimpin Islam dari pada kalangan Tradisionalis atau Nasionalis. Akan tetapi di sisi lain mereka juga menyadari bahwa kekuatan Islam, ini yang pada dasarnya telah menolak bekerja sama dengan Belanda, mungkin pula akan menyusahkan mereka[10]. Oleh karena itulah Soekarno, sosok yang paling dianggap mewakili kaum nasionalis, dinilai sebagai kekuatan penyeimbang, khususnya di Jawa, berguna untuk menarik kekuatan non Islam agar mendukung mereka. Soekarno juga juga bekerja sama dengan Hatta yang mencoba mendekati Jepang untuk kepentingan yang luhur yaitu kemerdekaan Indonesia. Hal ini bukannya tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Jawa tetapi janji kemerdekaan ini justru digunakan oleh Jepang untuk semakin menarik para pemimpin Islam dan Nasionalis untuk bergabung dalam lingkaran persemakmuran Asia dan untuk mendukung mereka melawan sekutu. Politik mobilisasi ini menjadi prioritas utama pemerintah Jepang di Jawa. Untuk itulah mereka sangat membutuhkan dukungan para pemimpin Islam dan kaum Nasionalis.
Pemerintah Jepang di Jawa berusaha menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat, khususnya Belanda dengan segala cara dan menyebarkan konsep Indonesia secara luas di kalangan rakyat. Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan semua perkumpulan resmi dibubarkan, dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru. Namun, bagi Umat Islam peraturan ini hanya berlaku bagi partai politik PSII dan PII, sedangkan organisasi seperti MIAI dan organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah tetap dibiarkan berdiri.
Sejak awal, Islam dinilai sebagai jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret 1942, Pemerintah Militer Jepang mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) sebagai ganti dari Kantor Urusan Islam (Kantoor voor Islamietsche Zaken) pada masa Kolonial Belanda. Pada bulan April 1942 Jepang juga membuat gerakan 3A yang dipimpin oleh Hitoshi Shimizu dan Mr. Samsoedin (Indonesia) untuk memulai mendirikan gerakan mobilisasi di Jawa[11]. Di dalam gerakan ini atas inisiatif Shimizu (yang belakangan menjadi seorang Muslim dan dihormati dikalangan orang Islam) pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub-seksi Islam yang dinamakan Persiapan Peratuan Umat Islam (PPUI) yang dipimpin oleh Abiekoesno Tjokroseojoso, mantan ketua PSII.
Jepang pada tanggal 2 September 1942 juga menggelar pertemuan dengan para pemimpin Islam dengan tujuan untuk mengganti MIAI dengan organisasi baru tetapi hal tersebut ditolak oleh para pemimpin Islam terutama pemimpin Islam perkotaan modern yang memilih mempertahankan MIAI, hal ini membuat Jepang harus mengalihkan pandangan untuk lebih menarik dan bekerja sama dengan kyai-kyai di pedesaan dan juga organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah untuk mentransmisikan pengaruhnya. Proses pendekatan Pemerintah Militer Jepang dengan kyai-kyai di pedesaan berlangsung cukup lancar walaupun terdapat beberapa kendala seperti keengganan para kyai untuk melakukan Seikerei karena menurut mereka hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada tanggal 1 Juli 1943 Jepang membawa sekelompok kyai yang berjumlah sekitar enam puluh orang untuk mengikuti kursus dan latihan selama kurang lebih sebulan yang menurut Kolonel Horie sebagai kepala Shumubu pelatihan tersebut diadakan untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama agar dapat sepenuhnya membantu Jepang. Sampai Mei 1945 lebih dari 1.000 kyai telah menyelesaikan kursus itu. Pihak Jepang benar-benar memanfaatkan para kyai tersebut untuk kepentingan politiknya sehingga menghalangi MIAI mengorganisasi para kyai tersebut. Pimpinan MIAI ingin menjalin hubungan langsung dengan para kyai pedesaan, namun pihak Jepang lebih suka menjalin hubungan dengan mereka secara langsung tanpa perantara pihak MIAI.
Sementara itu kondisi Jepang pada perang melawan Amerika semakin terdesak karena Amerika melakukan serangan balik terhadap Jepang. Kondisi ini membuat Jepang harus semakin memperkuat propagandanya[12]. Pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang dan sebagai gantinya dibentuk Masyumi. Dukunga terhadap Jepang tampak dalam tujuan Masyumi yang disebutkan dalam Anggaran Dasarnya, dalam pasal 4 dikatakan “Maksud dan tujuan perkumpulan ini ialah : mengendalikan dan merapatkan perhubungan antara perkumpulan-perkumpulan Agama Islam di Jawa dan Madura, serta memimpin dan memelihara pekerjaan perkumpulan-perkumpulan itu untuk mempertinggi peradaban, agar segenap Umat Islam membantu dan menyumbangkan tenaganya untuk membentuk Lingkungan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon, yang memang sesuai dengan perintah Allah.
pada tahun 1944 kondisi Jepang semakin terancam dalam perang pasifik, hal ini menimbulkan perilaku Jepang yang mulai semena-mena terhadap rakyat Indonesia sehingga timbul perlawanan-perlawanan termasuk oleh Umat Islam sendiri yang mulai menyadari posisinya dengan Pemerintah Militer Jepang.
D.    Peradilan Agama Pada Masa Jepang (1942-1945).
Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang[13]. Pergeseran otoritas jajahan Jepang membawa pada perubahan yang besar bagi masyarakat Indonesia. Perbedaan yang fundamental antara imperialisme Jepang dengan imperialisme barat terletak pada karakter militernya, pemerintah militer Jepang yang menguasai Indonesia pada gilirannya memegang semua urusan pemerintahan kolonial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Reid:
“Militer Jepang (angkatan laut dengan porsi yang lebih kecil daripada angkatan darat) sadar sejak awal bahwa mereka mau tidak mau harus terlibat dalam perjuangan hidup atau mati dimana orang-orang Asia Tenggara harus pula dilibatkan, walaupun harus mengorbankan tatanan internal. Problem yang muncul dalam merekonsiliasi kontrol wilayah jajahan dan memobilisasi masa perang memenuhi  keseluruhan periode Jepang ini, dengan tindakan kontrol yang semakin dikorbankan ketika peperangan muncul melawan Jepang”[14].
Akibatnya pemerintah militer Jepang harus memikul tanggung jawab atas semua permasalahan hukum dan administrasi, suatu peran yang tidak jauh berbeda yang sudah dialami oleh Belanda sebelumnya. Penjajah Jepang yang memodifikasi beberapa bangunan struktural, memilih untuk tidak terlalu merubah beberapa hukum dan peraturan yang ada, demi kemudahan admistrasi, sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan bahwa adat istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh dicampur tangani oleh pemerintah untuk sementara waktu dan hal-hal yang berhubungan dengan urusan penduduk sipil, adat, dan hukum sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan  dalam rangka untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan[15].
Secara teoritis pemerintahan Jepang pada waktu itu berusaha untuk membuat pemisahan simbol secara total dengan pemerintahan Belanda. Simbol kolonial yang menandakan pemerintah Belanda dihapuskan, selain itu pergerakan-pergerakan yang pada masa penjajahan Belanda aktif pada masa pemerintahan Jepang secara tegas dilarang. Tidak seperti pemerintahan Belanda yang membuat sentralisasi administrasi di wilayah kekuasaanya di Indonesia, Jepang justru membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu :
1.      Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.
2.      Di Singapura yang mengatur Sumatera.
3.      Komando Angkatan Laut di Makassar yang mengatur keseluruhan Nusantara di luar tiga pulau yang telah diatur di atas.
sebagai akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai Belanda dalam kantor-kantor pemerintahan, perubahan dalam organisasi peradilan juga harus terjadi. Pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Dai Nippon[16] y/ang isinya bahwa Pemerintahan Jawa mengeluarkan beberapa aturan yang dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya, lembaga peradilan yang sekuler didirikan dimana bentuk peradilan lama diubah namanya  dari bahasa Belanda kepada bahasa Jepang. Adapun susunan lembaga peradilan pada masa pendudukan Jepang adalah sebagai berikut[17] :
1.      Tihoo Hooin yang berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri).
2.      Keizai Hooin yang berasal dari Landgerecht (Pengadilan Kepolisian)
3.      Kein Hoin yang berasal dari Regetschapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
4.      Gun Hooin yang berasal dari Districtsge recht (Pengadilan Kewenangan)
5.      Kaikoo Kooto Hooin yang berasal dari Hof voor Islamietische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi)
6.      Sooyoo Hooin yang berasal dari Priesterrad (Rapat Agama), dan
7.      Gunsei Kensatu Kyoko terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan Pengadilan Negeri) berasal dari Paket voor Landraden[18].
Sedangkan Hoogerechtshof  (Saiko Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang melayani semua golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht yang pada masa kolonial Belanda dikhususkan untuk mengadili golongan masyarakat Eropa pada masa penjajahan Jepang dihapuskan. Langkah unifikasi yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang tidak hanya pada lembaga peradilan, tetapi juga dalam kantor kejaksaan. Jaksa yang bentukan terdahulu yang bertugas menurut prosedur Hukum Eropa, dan Jaksa Indonesia yang bekerja menurut Landraad, dikombinasikan kedalam Kensatu Kyoku. Jelas saja revolusi ini secara menggebu-gebu disambut oleh pejuang Muslim, terutama di Sumatra, yang senantiasa berharap untuk dapat menjatuhkan dominasi dari para tetua adat bersama pelindungnya, yaitu para pejabat Belanda.
Di Aceh misalnya, dan terutama di daerah Sumatra Utara, dimana pengadilan adat dikontrol penuh oleh Uleebalang. Dukungan Belanda sejak Perang Aceh 1870-1900 M, kelompok Ulama dan para komponen otoritas Uleebalang menjadi tulang punggung pendukung kelompok sentimen pro Jepang. Akibat dari prinsip umum yang diterapkan oleh pemerintah militer Jepang bahwa lembaga eksekutif dan lembaga peradilan harus dipisahkan, maka otoritas Uleebalang pada pengadilan adatpun diruntuhkan, walaupun integritas dari otoritas administratif mereka tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicapai lewat reformasi lembaga politik dan peradilan dari mesin kolonial tersebut. Jadi, kita melihat bahwa perbedaan antara wilayah yang diatur secara langsung dan wilayah otonomi pada satu sisi, dengan pengadilan negeri dan adat pada sisi lain, dihapuskan[19].
Kekuasaan jurisdiksi dari para Uleebalang sebagai hakim tunggal dalam lembaga peradilan yang lebih rendah dengan begitu juga dihapuskan dan otoritas merekapun dihentikan. Di samping itu kantor-kantor pengadilan penjajahan Belanda dan Residentiegerecht (Pengadilan Residen), yang dibangun untuk masyarakat Eropa, difungsikan menjadi lembaga pengadilan tingkat pertama yang diebut dengan Ku-Hooin. Demikian pula peradilan lain yang dirancang oleh Jepang, Tihoo Hooin, menggantikan oleh pengadilan adat yang dikuasai oleh Uleebalang, Landraad, dan Raad van Justitie dalam kompetensinya dalam tingkat pertama. Namun demikian, harus dikatakan bahwa pola struktural dari pengadilan banding yang lama masih fungsional dalam tataran praktis karena pemerintah kolonial Jepang tidak mampu menghapuskan secara keseluruhan yurisdiksi etnis dari pengadilan-pengadilan adat yang ada sejak lama. Akan tetapi, rezim baru ini paling tidak telah menampilkan semangat kemauan politis yang menjanjikan baik dalam term institusional maupun politis, penghentian jabatan Uleebalang yang sangat dominan tersebut dan administrasi peradilan lokal, memberikan sinyal harapan bagi bentuk pengakuan kepada hukum Islam seiring dengan diperolehnya kekuatan kontrol oleh orang-orang Islam dalam praktik peradilan.
Namun begitu, dalam arti yang lebih luas, prinsip yang fundamental bahwa “organisasi-organisasi pemerintah yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, dengan memberikan penghormatan kepada struktur organisasi dan praktik masyarakat asli yang telah hidup sejak lama dapat dilihat hanya sekedar bentuk propaganda anti Barat. Dalam tataran praktis, pemerintahan Jepang tidak mampu membuang para pegawai dan ahli-ahli tekhnik Belanda tersebut[20]. Jepang yang ejak awal merangkul elemen-elemen revolusioner, semakin kabur dengan nilai-nilai ini karena ternyata tidak dapat berpaling dari kenyataan bahwa Jepang butuh untuk mengonsolidasikan antara kekuasaan atas tanah dan penduduk anak negeri. Mereka sebetulnya mencari keuntungan dari sikap keberpihakan yang radikal tersebut dalam rangka mencari dukungan dari kekuatan-kekuatan otoritas tradisional. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada bulan November tahun 1942 Jepang membentuk suatu komite untuk studi tentang adat dan sistem politik terdahulu yang tujuannya untuk mengetahui adat istiadat dan lembaga pemerintahan yang terdahulu dari anak negeri, dan memberikan kontribusi administrasi bagi administrasi Jawa[21].
Secara politis, pemerintahan Jepang yang dihadapkan pada kewajiban untuk menenangkan hati para pendukung mereka pada masa-masa awal invasi, dipaksa untuk mengenyahkan para administrator dari jabatan mereka, yang pada kenyataannya enantiasa konflik dengan hukum Islam. Dalam beberapa hal, Jepang juga tidak mengizinkan adanya intervensi terhadap Hukum Islam atau pengamalannya oleh penduduk asli. Islam pada akhirnya tidak lebih menjadi sebuah alat bagi Jepang untuk mengonsolidasikan tujuan-tujuan politik Jepang di Indonesia. Islam, bagi mereka merupakan alat yang efektif untuk melakukan penetrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, memungkinkan sebagai sarana infiltrasi nilai-nilai dan cita-cita Jepang ke dalam masyarakat awam. Kepentingan yang digantungkan kepada Islam oleh kekuatan kependudukan Jepang di Indonesia dapat disaksikan lewat kasus pembentukan Departemen Agama. Jepang menggunakan lembaga ini untuk mengonsolidasikan posisi mereka di Indonesia dengan kiai dan ulama, yang diharapkan akan mampu berperan sebagai pelaku transmisi ide-ide dan tujuan Jepang ke dalam idiom dan budaya masyarakat awam Indonesia. Jadi ketertarikan Jepang dengan Islam, sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan subjektif, ketimbang komitmen mereka dalam hal integritas hukum Islam atau kemakmuran masyarakat Islam[22].
Dalam era peradilan, unifikasi lembaga-lembaga peradilan, pada dasarnya hanya dilandasi kepada prinsip-prinsip rasial saja, hanya sedikit memberikan dampak perubahan. Pembagian administrasi wilayah Indonesia dalam tiga kelompok pada dasarnya menghambat ide unifikasi ini dalam arti yang lebih luas karena reformasi sistem peradilan nasional secara sungguh-sungguh tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Jepang. Tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dalam perubahan lembaga peradilan ini. Dengan mengecualikan terhadap orang-orang yang berkebangsaan Jepang sebagai subjek hukum dalam lembaga-lembaga peradilan militer mereka sendiri. Fondasi untuk unifikasi lembaga peradilan yang menangani perselisihan-perselisihan yang melibatkan semua kelompok masyarakat tetap berlangsung selama masa pendudukan tersebut. Namun demikian, cukup megherankan bahwa perubahan yang substantif dalam lembaga peradilan agama juga tidak ada. Dalam praktiknya, satu-satunya aksi yang dapat dilakukan hanyalah mengubah nama-nama Belanda ke dalam istilah-istilah Jepang. Hal ini benar untuk pusat-pusat penjajahan seperti Jawa dan Madura dimana pemerintah Belanda mengubah nama lembaga peradilan agama dari Prieteraadden menjadi Soryoo Hooin[23]. Pengadilan agama tersebut tetap memiliki fungsi yang sama selama dibawah penjajahan Jepang dengan masa penjajahan Belanda. Lembaga-lembaga peradilan di Jawa dan Madura menjalankan tugas-tugas mereka seperti biasa, menangani kasus-kasus perkawinan, kadang-kadang bertindak dalam hal kewarisan. Sedangkan peradilan diluar Jawa dan Madura masih memiliki wilayah yurisprudensi yang lebih luas dibanding lembaga-lembaga di Jawa dan Madura, diantaranya termasuk menangani masalah kewarisan.
Sebenarnya pernah ada usaha yang dilakukan untuk mengakhiri Peradilan Agama pada waktu pemerintahan Jepang, yaitu ketika Soepomo mengajukan usulan kepada pemerintahan Jepang untuk menghapuskan peradilan Agama. Bersamaan dengan proposal yang diajukan oleh Soepomo kepada pemerintahan Jepang, pada tanggal 14 April 1943 datang pula usulan dari Jepang yang berisi untuk meniadakan Peradilan Agama karena Jepang menginginkan adanya pemisahan antara urusan pemerintahan dengan urusan agama di wilayah Indonesia. Mengenai pengamalan hukum Islam, Jepang tidak melarang dan menyerahkan sepenuhnya masalah keyakinan dan tata cara menjalankannya kepada masyarakat Indonesia tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Namun rekomendasi ini tidak pernah terlaksana karena pihak Jepang khawatir akan timbul pemberontakan dan perlawanan dari mayarakat Islam di Indonesia. Namun demikian, fenomena mengenai tidak terlaksananya rekomendasi Jepang ini sebenarnya lebih dikarenakan pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya sebentar saja. Pada akhirnya, Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang ini tidak mengalami perubahan seperti pada masa penjajahan Belanda[24]


PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dari pembahasan dari makalah tersebut, dapat kita ambil beberapa kesimpulan yaitu, apabila kita berbicara mengenai peradilan pada masa penjajahan Jepang, langkah awal yang perlu kita ketahui adalah mengetahui tentang definisi peradilan itu sendiri. Kata Peradilan berasal dari kata adil, mendapat awalan per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari kata Qadla yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Disamping arti menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, qadla dapat pula berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan. Menurut para pakar peradilan, arti yang terakhir itulah yang menurutnya yang paling signifikan atau paling benar.
Putusan sebagai produk dari peradilan, erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa.  Sedangkan putusan berbeda dengan qadla, perbedaan itu terdapat pada beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, mufti dapat menolak untuk memberikan suatu fatwa sedangkan qadla atau peradilan tidak boleh menolak para pihak yang mengajukan permohonan keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan tersebut belum ada.
Kedua, qadla dasarnya atau didasarkan pada fakta (kenyataan) yang dicari oleh hakim, sehingga hakim harus memutus sesuai dengan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya adalah ilmu (pengetahuan), sehingga mufti harus memberikan fatwa sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Ketiga, putusan itu mempunyai daya paksa atau harus dituruti, sehingga negara dapat memaksakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, sedangkan fatwa tidak mengharuskan seseorang untuk mengikutinya sehingga negara tidak dapat campur tangan untuk melaksanakan fatwa tersebut.
Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedangkan qadla boleh atau bisa dibatalkan oleh lembaga yang lebih tinggi.
Kelima, fatwa merupakan produk pribadi sedangkan qadla (putusan) adalah produk negara.
Kata Peradilan Islam jika tidak digabung atau disambung dengan Kata “Indonesia” maka yang dimaksud adalah peradilan menurut konsep Islam secara universal. Untuk menghindari kekeliruan dalam pemahaman, Peradilan Islam di Indonesia cukup dengan menggunakan istilah Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu dari keempat lingkungan Pengadilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus, yang berwenang dalam perkara perdata Islam tertentu, dan hanya bagi orang-orang Islam Indonesia.
Setelah mengetahui mengenai peradilan Islam Indonesia, berikutnya yang harus diketahui adalah keadaan sosial politik pada waktu Jepang menjajah Indoneia. Jepang memulai invasinya di Indonesia dan mendarat pertama kali pada tanggal 11 Januari 1942 dan mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Pada saat pertama kali datang ke Indonesia, Jepang membawa propaganda-propagandanya untuk menarik perhatian Masyarakat Indonesia. Jepang membuat gerakan-gerakan untuk mendukung program propaganda yang diusungnya tersebut diantaranya adalah 3A, Poetra, Peta dan lain-lain. Pada awal kedatangannya di Indonesia Jepang disambut seolah Pahlawan karena selalu membicarakan tentang kemerdekaan bangsa-bangsa Asia. Jepang mendekati para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dan para Ulama yang berpengaruh serta menggunakan Islam sebagai alat politiknya untuk pertama kalinya. Semakin lama kependudukan Jepang di Indonesia, mulai terlihatlah bahwa Jepang hanya memanfaatkan Indonesia dan hanya ingin menguasai sumber daya yang ada di Indonesia dengan menjajahnya. Hal tersebut mulai terlihat ketika ada peraturan mengenai Kerja Paksa, dan adanya penipuan dengan menjadikan gadis-gadis di Indonesia sebagai wanita penghibur di camp-camp mereka, dan masih banyak kebijakan-kebijakan Jepang yang menyengsarakan Rakyat Indonesia. Hal ini mendorong Rakyat Indonesia untuk melawan balik terhadap Jepang hingga Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 sehingga Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Pada awal kependudukan Militer Jepang di Indonesia, Pemerintah Militer Jepang begitu faham kondisi sosial keagamaan dari masyarakat Indonesia sehingga Pemerintah Militer Jepang mempolitisasi Islam di Indonesia sebagai alat untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Diantara usaha Jepang untuk menanam pegaruhnya dalam rangka mencari dukungan masyarakat Muslim Indonesia dan menjajah Indonesia adalah dengan mendirikan berbagai instansi dan organisasi seperti pendirian Kantor Urusan Agama (Shumubu), Gerakan 3A yang di dalamnya terdapat PPUI (Persiapan Persatuan Umat Islam), Pembentukan Masyumi, Peta dan lain sebagainya. Sementara untuk memuluskan perjalanannya, Jepang juga merangkul tokoh-tokoh Islam perkotaan dan Pedesaan. Tokoh Nasionalis juga dirangkul Jepang sebagai kekuatan penyeimbang.
Setelah mengetahui definisi Peradilan Islam, kondisi sosial masyarakat pada waktu kependudukan Jepang di Indonesia, dan Politik pemerintahan Jepang terhadap Islam barulah dibahas mengenai Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda agar memperoleh pemahaman yang utuh. Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang secara substansial tidak mengalami perubahan secara substansial. Pada masa penjajahan Jepang peradilan Agama hanya dirubah namanya dalam bahasa Jepang  menjadi Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikoo Kootoo Hooin untuk Pengadilan Tinggi Agama. Keberadaan Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang pernah terancam akan ditiadakan sejak ada usulan dari Mr. Soepomo kepada pemerintah Jepang pada tahun 1944. Bersamaan dengan usulan tersebut muncul saran dari Jepang pada 14 April 1945 yang mengatakan bahwa di Indonesia antara Agama dan negara harus dipisah, pengamalan mengenai agama termasuk pengadilan Agama harus diserahkan secara penuh kepada masyarakat dan negara tidak boleh mencampurinya. Tetapi usulan-usulan tersebut tidak pernah terealisasi karena bangsa Indonesia telah memperoleh kemerdekaannya.

 DAFTAR PUSTAKA

1.      Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1997.

2.      Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Ja-
karta: Penerbit Khalifa. 2004.

3.      Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Yogyakarta
: UII Press. 2007.

4.      Aripin, Jaenal. Jejak-Jejak Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kenca-
na Media Group. 2013.


5.      Aristonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia. –
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005.


6.      Basri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung: Remaja Rosda Karya. 1997.


7.      Benda, J. Harry. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Bandung: Pustaka Jaya.
1980.

8.      Djalil, Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Pustaka Amzah. 2012.


9.      Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada -
Media Group. 2006.

10.  Effendi, Bachtiar. Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran -
Masa Orde Baru. Bandung: Pustaka Mizan. 1986

11.  Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama.  Jaka -
rta: Sinar Grafika. 1996.

12.  Kotto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2012.

13.  Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Adat dan Hukum Islam. Jaka -
rta: INIS. 1998.

14.  Nuh, Zaini Ahmad. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia
. Surabaya: Bina Ilmu. 1983.

15.  Shiddieqy, Hasbi Ash-. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: -
PT. Ma’arif. 1994.

[2] A. Basiq Djalil., Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 3.
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT Ma’arif, 1994). hlm. 29.
[4]  A. Basiq Djalil., Peradilan Islam  (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 5.
[5] Ibid., hlm.  7.
[6] Ibid., hlm. 8.
[7]Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa oleh Daniel Dhakidae (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1980). hlm. 154.
[8] Ibid., hlm. 164.
[9]  Ibid., hlm. 158.
[10] Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005).hlm. 213.
[11] Ibid.,hlm. 216
[12] Ibid.,hlm. 221.
[13]  A. Basiq Djalil, Peradilan Islam  (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 199.
[14] Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 231.

[15] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 51.
[16] A. Basiq Djalil, Peradilan Islam  (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 199.
[17] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 51.
[18] Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Masa Orde Baru (Bandung: Pustaka Mizan, 1986). hlm. 93.
[19] Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 236.
[20] Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam  (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 236.
[21]  Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 54.
[22] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 54.
[23] Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1983). hlm. 44.
[24] Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam  (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 241.





[1] A. Basiq Djalil., Peradilan Islam  (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 5.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.