Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Peradilan
Agama adalah salah satu dari Peradilan Khusus yang berada dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung selaku peradilan tertinggi di Republik Indonesia ini. Peradilan
Agama ini, seperti ketiga peradilan khusus lainnya yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai
kewenangan-kewenangan dalam mengadili perkara perdata tertentu yang khusus bagi
Umat Islam di Indonesia[1].
Hal tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Sebagai Peradilan Islam yang telah berdiri sejak jauh
sebelum Indonesia merdeka, tentulah Peradilan Agama ini tak terlepas dari
perubahan-perubahan yang terjadi mengingat tampuk Pemerintahan Indonesia pernah
dipegang oleh berbagai macam orang dengan latarbelakang, politik dan tujuan
yang berbeda, tentulah hal tersebut membawa dampak terhadap keberadaan
Peradilan Agama baik secara material maupun immaterial, termasuk pada Masa
Pemerintahan Penjajahan Jepang di Indonesia. Oleh karena itulah makalah ini
akan mengupas mengenai dinamika yang terjadi pada Peradilan Agama yang akan
difokuskan pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia. Selain itu Makalah ini
juga diajukan guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Peradilan dan
Hukum Acara Islam.
B. Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan Peradilan Islam dan Peradilan Islam Indonesia ?
2. Bagaimana
keadaan Indonesia pada saat masa penjajahan Jepang ?
3. Bagaimana
dinamika dan kondisi Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang ?
C. Tujuan
Penulisan.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Peradilan Islam dan Peradilan Islam
Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bagaimana keadaan Indonesia pada masa Penjajahan Jepang di
Indonesia.
3. Untuk
mengetahui dinamika dan kondisi Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang.
D. Metode
Penulisan.
Metode
penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .
PEMBAHASAN
A. Peradilan
Islam dan Peradilan Agama Indonesia.
Kata
Peradilan berasal dari kata adil, mendapat awalan per dan akhiran an. Kata
peradilan sebagai terjemahan dari kata Qadla
yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan.
Dalam
Islam, peradilan disebut qadla yang
berarti menyelesaikan, seperti firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 37 yang
berbunyi :
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur
Yang
artinya : “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (mencerainya).
Dan
ada juga yang berarti menunaikan, seperti firman Allah dalam surat Al Jumu’ah
ayat 10 :
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$#
Yang
artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka
bumi.”
Disamping
arti menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, qadla dapat pula berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu
ketetapan[2].
Menurut para pakar peradilan, arti yang terakhir itulah yang menurutnya yang
paling signifikan atau paling benar. Pada asalnya, arti dari kata hukum berarti
menghalangi atau mencegah, qadli juga
bisa disebut hakim karena ia bertugas untuk menghalangi orang yang dizalimi
dari penganiayaan. Jika ada seeorang yang mengatakan “hakim telah menghukumkan begini” itu berarti hakim telah meletakkan
suatu hak pada tempatnya atau mengembalikan sesuatu kepada yang berhak[3].
Putusan
sebagai produk dari peradilan, erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Di
dalam Islam, apabila seseorang berijtihad dan hasilnya salah maka dia
mendapatkan satu pahala. Sedangkan apabila ijtihad yang dilakukannya tersebut
hasilnya benar maka dia mendapatkan dua pahala, yaitu satu pahala karena ia
berusaha untuk berijtihad, dan satu pahala lagi untuk kebenaran hasil ijtihad
yang telah ia lakukan tersebut.
Untuk
itu perlu dijelaskan perbedaan antara qadla
sebagai putusan peradilan dengan ifta’
sebagai satu fatwa. Fatwa adalah jawaban dari suatu pertanyaan yang hukumnya
tidak begitu jelas, dan diajukan kepada ahli dibidangnya. Memberikan fatwa pada
hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya, seorang
mufti harus memahami permasalahan yang dihadapinya dan ia harus orang yang
benar baik tingkah lakunya, perkataanya dan perbuatannya.
Fatwa
merupakan hasil ijtihad dari seorang mujtahid, ia mengistimbatkan hukum untuk
dirinya sendiri dan juga orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi maupun
hal-hal yang belum terjadi apabila terdapat ketidakjelasan hukum dalam hal
tersebut.
Dari
uraian di atas, dapatlah ditarik benang merah mengenai perbedaan fatwa dengan qadla sebagai putusan hakim.
Pertama,
mufti dapat menolak untuk memberikan suatu fatwa sedangkan qadla atau peradilan tidak boleh menolak para
pihak yang mengajukan permohonan keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan
tersebut belum ada.
Kedua,
qadla dasarnya atau didasarkan pada
fakta (kenyataan) yang dicari oleh hakim, sehingga hakim harus memutus sesuai
dengan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya adalah ilmu (pengetahuan), sehingga
mufti harus memberikan fatwa sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Ketiga,
putusan itu mempunyai daya paksa atau harus dituruti, sehingga negara dapat
memaksakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, sedangkan fatwa tidak
mengharuskan seseorang untuk mengikutinya sehingga negara tidak dapat campur
tangan untuk melaksanakan fatwa tersebut.
Keempat,
fatwa tidak boleh dibatalkan, sedangkan qadla
boleh atau bisa dibatalkan oleh lembaga yang lebih tinggi.
Kelima,
fatwa merupakan produk pribadi sedangkan qadla
(putusan) adalah produk negara[4].
Kata
Peradilan Islam jika tidak digabung atau disambung dengan Kata “Indonesia” maka
yang dimaksud adalah peradilan menurut konsep Islam secara universal. Oleh
karena itu, negara Islam atau negara yang mayoritas muslim asas peradilannya
sama dengan peradilan agama di Indonesia, hal itu dikarenakan hukum Islam itu
satu dan dapat diberlakukan dimanapun.
Untuk
menghindari kekeliruan dalam pemahaman, Peradilan Islam di Indonesia cukup
dengan menggunakan istilah Peradilan Agama[5].
Peradilan
Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu dari keempat lingkungan Pengadilan
Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga kekuasaan kehakiman
yang lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara yang ketiganya berada dibawah naungan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sedang dalam undang-undang yang baru, yakni undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi dimana Mahkamah
Konstitusi tersebut berada sejajar dengan Mahkamah Agung.
Peradilan
Agama merupakan salah satu lembaga khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus
lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan
Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan Agama hanya berwenang di bidang
perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang
Islam di Indonesia. Serta dalam perkara-perkara Perdata Islam tertentu dan
tidak mencakup seluruh perdata Islam.
Peradilan
Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, jenis perkara yang diadilinya adalah
jenis perkara menurut Agama Islam. Dirangkaikannya kata Peradilan Islam dengan
di Indonesia adalah jenis perkara yang diadili tidaklah mencakup segala macam
perkara menurut peradilan Islam secara universal. Tegasnya, Peradilan Agama
adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disseuaikan dengan keadaan
Indonesia.
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari
Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus, yang berwenang
dalam perkara perdata Islam tertentu, dan hanya bagi orang-orang Islam
Indonesia.
Basiq
Djalil di dalam bukunya mengkritisi kata Peradilan Agama tersebut. Pemakaian
kata Peradilan Agama terebut dinilai kurang tepat walaupun telah dipakai sejak
jaman Belanda (God Dienstrechtspraak)
dengan alasan bahwa apa yang diperiksa atau diadili dalam peradilan agama
bukanlah pelanggaran kaidah agama, melainkan pelanggaran atau sengketa hukum
perdata Islam yang bersifat duniawi[6].
B. Kondisi
Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia.
Gerakan
invasi Jepang, dimulai dengan menduduki daerah-daerah yang strategis. Pada 11
Januari 1942 Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur.
Pendaratan selanjutnya adalah di Samarinda, Balikpapan, Palembang, Pontianak,
Banjarmasin, Makassar, Minahasa, Bali dan Ambon. Dari daerah-daerah tersebutlah
Jepang mengepung kekuatan Belanda yang berada di Jawa.
Gerakan
Jepang ini dilanjutkan dengan membuat propaganda diantaranya adalah propaganda
3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Dengan propaganda
ini Jepang berhasil merebut perhatian masyarakat Indonesia agar ikut membantu
untuk mengusir Belanda yang telah menjajah tiga setengah abad lamanya. Dalam
waktu yang singkat, Jepang mampu menguasai daerah-daerah strategis di luar
pulau jawa dan kemudian mendarat di teluk Banten, Eretan Wetan dan Kragan untuk
menaklukkan Batavia (Jakarta) dan Bandung[7].
Pada
akhirnya Belanda tak kuasa lagi untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah
kepada Jepang pada tanggal 7 Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh
Gubernur Jendral Teer Porten kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati.
Penyerahan tanpa syarat tersebut mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 9
Maret 1942, dan sejak saat itu Jepang mulai resmi menduduki tanah air.
Sejak
resmi menduduki Tanah Air, Jepang langsung membagi kekuasaan militer untuk
melakukan pertanahan dan mengatur susunan pemerintahan. Jepang membagi
kekuasaan militer menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipegang oleh Rigun (Angkatan Darat) dan Kaigun (Angkatan Laut). Tiga wilayah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Didaerah
Jawa dan Madura dengan pusatnya di Batavia yang berada dibawah kendali Pasukan
Angkatan Darat Jepang.
2. Daerah
Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya di Singapura yang juga
dibawah kendali Pasukan Angkatan Darat Jepang.
3. Daerah
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang berada dibawah
kendali Pasukan Angkatan Laut Jepang.
Selain
membagi daerah militer dengan tiga daerah tersebut, untuk memperkuat posisi
Jepang di Indonesia, Jepang mengangkat beberapa tokoh penting seperti Husein
Djojodiningrat, Sutardjo Kartohadikoesomo, R.M. Soerjo, dan Prof. Dr. Soepomo.
Pengangkatan ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan juga
untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang. Sedangkan di dalam Pemerintahan,
Jepang membagi susunan Pemerintahan menjadi tiga, yaitu :
1. Panglima
Tentara Jepang (Gunsheireikan) yang
saat itu dijabat oleh Letnan Jendral Hitoshi Imamura.
2. Kepala
Pemerintahan Militer (Gunseikan) yang kala itu dijabat oleh Seizaburo
Okasaki.
3. Koordinator
Pemerintahan Militer Setempat (Gunseibu)
yang dijabat oleh semacam gubernur setempat.
Dalam
hal susunan pemerintahan, Jepang juga terpaksa mengangkat beberapa orang dari
bangsa Indonesia, hal tersebut dilakukan Jepang karena Kapal yang mengangkut
orang-orang dari Jepang yang dikirim ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
pegawai Jepang karam setelah ditembak menggunakan terpedo oleh Sekutu. Dalam
hal ini Bangsa Indonesia merasa diuntungkan karena dapat belajar mengenai tata
pemerintahan[8].
Setelah
mengatur tata pemeritahan, Jepang mulai mengeluarkan aturan-aturan, diantaranya
adalah UU Nomor 4 yang isinya adalah bahwa Bendera Jepanglah yang harus
dipasang pada hari-hari besar, Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) yang boleh
didengarkan, dan mulai saat itu kalender yang boleh digunakan adalah kalender
Jepang.
Pada
tanggal 1 Agustus 1943 keluar pengumuman Syaiko Syikikan tentang garis-garis
besar mengikut sertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan. Beberapa
tokoh Indonesia yang diangkat Jepang dalam pemerintahannya diantaranya adalah
Hosein Djajadiningrat yang menjabat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, RM
Soerjo dan Soetarjo Kartohadikusumo yang diangkat sebagai residen serta
beberapa tokoh lain yang diangkat sebagai penasehat Bangsa Indonesia[9].
Semakin
lama Jepang menduduki Indonesia, Jepang mulai mengeluarkan beberapa kebijakan
yang merugikan dan menyengsarakan nasib Rakyat Indonesia diantaranya mereka mengeksploitasi tenaga kerja manusia
dengan program Kinrohosi (Kerja
Bakti), mereka mengerahkan penduduk desa (laki-laki) untuk bekerja membangun
instalasi-instalasi militer dan pertahanan Jepang. Penduduk Indonesia inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Romusha.
Mereka tidak hanya dipekerjakan di Indonesia, tetapi sebagian juga dikirim ke
luar negeri seperti Thailand, Filipina, Malaya dan Vietnam. Jumlah penduduk
yang diambil oleh Jepang untuk bekerja ini sekitar 300.000 orang penduduk dan
hanya kembali 70.000 penduduk dengan keadaan yang mengenaskan. Selain itu Jepang
juga memperkerjakan gadis-gadis Indonesia sebagai penghibur di kamp-kamp mereka
di Solo, Semarang, Jakarta, Sumatra Barat, dan Kalimantan.
Hal-hal
diataslah yang menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa mereka telah diperdaya oleh
Jepang sehingga Bangsa Indonesia segera melakukan perlawanan. Tercatat pernah
terjadi beberapa perlawanan terhadap tentara Jepang di Indonesia seperti di
Blitar, Indramayu, Aceh dan beberapa daerah lainnya.
Seiring
berjalanya waktu, pada tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan dalam perang
melawan sekutu, oleh karena itu, untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah
Asia Tenggara Jepang mengeluarkan janji-janji kemerdekaannya termasuk kepada
Indonesia dengan membentuk BPUPKI, tetapi usia BPUPKI ini hanya mampu bertahan
beberapa bulan saja, karena dianggap tidak efektif oleh Jepang, maka BPUPKI ini
dibubarkan dan diganti menjadi PPKI. Badan ini diresmikan dalam pertemuannya
dengan tokoh-tokoh Indonesia dan menghasilkan keputusan untuk memberikan
kemerdekaan Indonesia, dan memutuskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia
adalah seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda terdahulu. Tetapi setelah mendengar
berita menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus
1945 akhirnya kemerdekaan Bangsa Indonesia terwujud bukan karena PPKI tetapi
karena Bangsa Indonesia itu sendiri.
C. Politik
Jepang terhadap Islam dan Respons Terhadapnya.
Kebijakan
awal Jepang adalah berusaha menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak di
Indonesia. Ini dilakukannya untuk mendukung tujuan utamanya mereka, yakni
menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia, dalam rangka menopang
perang Jepang dan rencana-rencananya bagi rencana dominasi mereka dalam jangka
panjang terhadap asia timur dan asia tenggara. Pada masa awal perang bahkan
sejak masa sebelumnya, pemerintah Jepang telah melancarkan propaganda untuk
menarik para pemimpin Islam.
Pemerintahan
Militer Jepang itu pada awalnya lebih menunjukkan minat untuk mendekati para
pemimpin Islam dari pada kalangan Tradisionalis atau Nasionalis. Akan tetapi di
sisi lain mereka juga menyadari bahwa kekuatan Islam, ini yang pada dasarnya
telah menolak bekerja sama dengan Belanda, mungkin pula akan menyusahkan mereka[10].
Oleh karena itulah Soekarno, sosok yang paling dianggap mewakili kaum
nasionalis, dinilai sebagai kekuatan penyeimbang, khususnya di Jawa, berguna
untuk menarik kekuatan non Islam agar mendukung mereka. Soekarno juga juga
bekerja sama dengan Hatta yang mencoba mendekati Jepang untuk kepentingan yang
luhur yaitu kemerdekaan Indonesia. Hal ini bukannya tidak diketahui oleh
pemerintah Jepang di Jawa tetapi janji kemerdekaan ini justru digunakan oleh
Jepang untuk semakin menarik para pemimpin Islam dan Nasionalis untuk bergabung
dalam lingkaran persemakmuran Asia dan untuk mendukung mereka melawan sekutu.
Politik mobilisasi ini menjadi prioritas utama pemerintah Jepang di Jawa. Untuk
itulah mereka sangat membutuhkan dukungan para pemimpin Islam dan kaum
Nasionalis.
Pemerintah
Jepang di Jawa berusaha menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat, khususnya Belanda
dengan segala cara dan menyebarkan konsep Indonesia secara luas di kalangan
rakyat. Pada bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan semua
perkumpulan resmi dibubarkan, dan pihak Jepang mulai membentuk
organisasi-organisasi baru. Namun, bagi Umat Islam peraturan ini hanya berlaku
bagi partai politik PSII dan PII, sedangkan organisasi seperti MIAI dan
organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah tetap dibiarkan berdiri.
Sejak
awal, Islam dinilai sebagai jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret
1942, Pemerintah Militer Jepang mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) sebagai ganti dari Kantor
Urusan Islam (Kantoor voor Islamietsche
Zaken) pada masa Kolonial Belanda. Pada bulan April 1942 Jepang juga
membuat gerakan 3A yang dipimpin oleh Hitoshi Shimizu dan Mr. Samsoedin
(Indonesia) untuk memulai mendirikan gerakan mobilisasi di Jawa[11].
Di dalam gerakan ini atas inisiatif Shimizu (yang belakangan menjadi seorang
Muslim dan dihormati dikalangan orang Islam) pada bulan Juli 1942 didirikan
suatu sub-seksi Islam yang dinamakan Persiapan Peratuan Umat Islam (PPUI) yang
dipimpin oleh Abiekoesno Tjokroseojoso, mantan ketua PSII.
Jepang
pada tanggal 2 September 1942 juga menggelar pertemuan dengan para pemimpin
Islam dengan tujuan untuk mengganti MIAI dengan organisasi baru tetapi hal
tersebut ditolak oleh para pemimpin Islam terutama pemimpin Islam perkotaan
modern yang memilih mempertahankan MIAI, hal ini membuat Jepang harus
mengalihkan pandangan untuk lebih menarik dan bekerja sama dengan kyai-kyai di
pedesaan dan juga organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah untuk
mentransmisikan pengaruhnya. Proses pendekatan Pemerintah Militer Jepang dengan
kyai-kyai di pedesaan berlangsung cukup lancar walaupun terdapat beberapa kendala
seperti keengganan para kyai untuk melakukan Seikerei karena menurut mereka hal tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam.
Pada
tanggal 1 Juli 1943 Jepang membawa sekelompok kyai yang berjumlah sekitar enam
puluh orang untuk mengikuti kursus dan latihan selama kurang lebih sebulan yang
menurut Kolonel Horie sebagai kepala Shumubu pelatihan tersebut diadakan untuk
meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama agar
dapat sepenuhnya membantu Jepang. Sampai Mei 1945 lebih dari 1.000 kyai telah
menyelesaikan kursus itu. Pihak Jepang benar-benar memanfaatkan para kyai
tersebut untuk kepentingan politiknya sehingga menghalangi MIAI mengorganisasi
para kyai tersebut. Pimpinan MIAI ingin menjalin hubungan langsung dengan para
kyai pedesaan, namun pihak Jepang lebih suka menjalin hubungan dengan mereka
secara langsung tanpa perantara pihak MIAI.
Sementara
itu kondisi Jepang pada perang melawan Amerika semakin terdesak karena Amerika
melakukan serangan balik terhadap Jepang. Kondisi ini membuat Jepang harus
semakin memperkuat propagandanya[12].
Pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang dan sebagai gantinya
dibentuk Masyumi. Dukunga terhadap Jepang tampak dalam tujuan Masyumi yang
disebutkan dalam Anggaran Dasarnya, dalam pasal 4 dikatakan “Maksud dan tujuan
perkumpulan ini ialah : mengendalikan dan merapatkan perhubungan antara
perkumpulan-perkumpulan Agama Islam di Jawa dan Madura, serta memimpin dan
memelihara pekerjaan perkumpulan-perkumpulan itu untuk mempertinggi peradaban,
agar segenap Umat Islam membantu dan menyumbangkan tenaganya untuk membentuk
Lingkungan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon,
yang memang sesuai dengan perintah Allah.
pada
tahun 1944 kondisi Jepang semakin terancam dalam perang pasifik, hal ini
menimbulkan perilaku Jepang yang mulai semena-mena terhadap rakyat Indonesia
sehingga timbul perlawanan-perlawanan termasuk oleh Umat Islam sendiri yang
mulai menyadari posisinya dengan Pemerintah Militer Jepang.
D. Peradilan
Agama Pada Masa Jepang (1942-1945).
Pada
tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang[13]. Pergeseran
otoritas jajahan Jepang membawa pada perubahan yang besar bagi masyarakat
Indonesia. Perbedaan yang fundamental antara imperialisme Jepang dengan
imperialisme barat terletak pada karakter militernya, pemerintah militer Jepang
yang menguasai Indonesia pada gilirannya memegang semua urusan pemerintahan
kolonial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Reid:
“Militer
Jepang (angkatan laut dengan porsi yang lebih kecil daripada angkatan darat)
sadar sejak awal bahwa mereka mau tidak mau harus terlibat dalam perjuangan
hidup atau mati dimana orang-orang Asia Tenggara harus pula dilibatkan,
walaupun harus mengorbankan tatanan internal. Problem yang muncul dalam
merekonsiliasi kontrol wilayah jajahan dan memobilisasi masa perang
memenuhi keseluruhan periode Jepang ini,
dengan tindakan kontrol yang semakin dikorbankan ketika peperangan muncul
melawan Jepang”[14].
Akibatnya
pemerintah militer Jepang harus memikul tanggung jawab atas semua permasalahan
hukum dan administrasi, suatu peran yang tidak jauh berbeda yang sudah dialami
oleh Belanda sebelumnya. Penjajah Jepang yang memodifikasi beberapa bangunan
struktural, memilih untuk tidak terlalu merubah beberapa hukum dan peraturan
yang ada, demi kemudahan admistrasi, sebagaimana Belanda pada masa-masa awal
penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan bahwa adat istiadat lokal,
praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh dicampur tangani oleh
pemerintah untuk sementara waktu dan hal-hal yang berhubungan dengan urusan
penduduk sipil, adat, dan hukum sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan
yang khusus diperlukan dalam rangka
untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak
diinginkan[15].
Secara
teoritis pemerintahan Jepang pada waktu itu berusaha untuk membuat pemisahan
simbol secara total dengan pemerintahan Belanda. Simbol kolonial yang
menandakan pemerintah Belanda dihapuskan, selain itu pergerakan-pergerakan yang
pada masa penjajahan Belanda aktif pada masa pemerintahan Jepang secara tegas
dilarang. Tidak seperti pemerintahan Belanda yang membuat sentralisasi administrasi
di wilayah kekuasaanya di Indonesia, Jepang justru membagi wilayah Indonesia ke
dalam tiga zona administrasi, yaitu :
1. Di
Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.
2. Di
Singapura yang mengatur Sumatera.
3. Komando
Angkatan Laut di Makassar yang mengatur keseluruhan Nusantara di luar tiga
pulau yang telah diatur di atas.
sebagai
akibat dari pengurangan yang drastis dari jumlah para pegawai Belanda dalam
kantor-kantor pemerintahan, perubahan dalam organisasi peradilan juga harus
terjadi. Pada tanggal 29 April 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon
mengeluarkan UU No 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara Dai Nippon[16] y/ang
isinya bahwa Pemerintahan Jawa mengeluarkan beberapa aturan yang dirancang
untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya, lembaga
peradilan yang sekuler didirikan dimana bentuk peradilan lama diubah namanya dari bahasa Belanda kepada bahasa Jepang.
Adapun susunan lembaga peradilan pada masa pendudukan Jepang adalah sebagai
berikut[17] :
1. Tihoo Hooin
yang berasal dari Landraad
(Pengadilan Negeri).
2. Keizai Hooin yang
berasal dari Landgerecht (Pengadilan
Kepolisian)
3. Kein Hoin yang
berasal dari Regetschapsgerecht
(Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin
yang berasal dari Districtsge recht
(Pengadilan Kewenangan)
5. Kaikoo Kooto Hooin yang
berasal dari Hof voor Islamietische Zaken
(Mahkamah Islam Tinggi)
6. Sooyoo Hooin
yang berasal dari Priesterrad (Rapat
Agama), dan
7. Gunsei Kensatu Kyoko
terdiri dari Tihoo Kensatu Kyoko (Kebijaksanaan
Pengadilan Negeri) berasal dari Paket
voor Landraden[18].
Sedangkan
Hoogerechtshof (Saiko
Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang melayani semua
golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht
yang pada masa kolonial Belanda dikhususkan untuk mengadili golongan masyarakat
Eropa pada masa penjajahan Jepang dihapuskan. Langkah unifikasi yang dilakukan
pada masa penjajahan Jepang tidak hanya pada lembaga peradilan, tetapi juga
dalam kantor kejaksaan. Jaksa yang bentukan terdahulu yang bertugas menurut
prosedur Hukum Eropa, dan Jaksa Indonesia yang bekerja menurut Landraad, dikombinasikan kedalam Kensatu Kyoku. Jelas saja revolusi ini
secara menggebu-gebu disambut oleh pejuang Muslim, terutama di Sumatra, yang
senantiasa berharap untuk dapat menjatuhkan dominasi dari para tetua adat
bersama pelindungnya, yaitu para pejabat Belanda.
Di
Aceh misalnya, dan terutama di daerah Sumatra Utara, dimana pengadilan adat
dikontrol penuh oleh Uleebalang.
Dukungan Belanda sejak Perang Aceh 1870-1900 M, kelompok Ulama dan para
komponen otoritas Uleebalang menjadi
tulang punggung pendukung kelompok sentimen pro Jepang. Akibat dari prinsip
umum yang diterapkan oleh pemerintah militer Jepang bahwa lembaga eksekutif dan
lembaga peradilan harus dipisahkan, maka otoritas Uleebalang pada pengadilan adatpun diruntuhkan, walaupun integritas
dari otoritas administratif mereka tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicapai
lewat reformasi lembaga politik dan peradilan dari mesin kolonial tersebut.
Jadi, kita melihat bahwa perbedaan antara wilayah yang diatur secara langsung
dan wilayah otonomi pada satu sisi, dengan pengadilan negeri dan adat pada sisi
lain, dihapuskan[19].
Kekuasaan
jurisdiksi dari para Uleebalang
sebagai hakim tunggal dalam lembaga peradilan yang lebih rendah dengan begitu
juga dihapuskan dan otoritas merekapun dihentikan. Di samping itu kantor-kantor
pengadilan penjajahan Belanda dan Residentiegerecht
(Pengadilan Residen), yang dibangun untuk masyarakat Eropa, difungsikan menjadi
lembaga pengadilan tingkat pertama yang diebut dengan Ku-Hooin. Demikian pula peradilan lain yang dirancang oleh Jepang, Tihoo Hooin, menggantikan oleh
pengadilan adat yang dikuasai oleh Uleebalang,
Landraad, dan Raad van Justitie dalam kompetensinya dalam tingkat pertama. Namun
demikian, harus dikatakan bahwa pola struktural dari pengadilan banding yang
lama masih fungsional dalam tataran praktis karena pemerintah kolonial Jepang
tidak mampu menghapuskan secara keseluruhan yurisdiksi etnis dari
pengadilan-pengadilan adat yang ada sejak lama. Akan tetapi, rezim baru ini
paling tidak telah menampilkan semangat kemauan politis yang menjanjikan baik
dalam term institusional maupun politis, penghentian jabatan Uleebalang yang sangat dominan tersebut
dan administrasi peradilan lokal, memberikan sinyal harapan bagi bentuk
pengakuan kepada hukum Islam seiring dengan diperolehnya kekuatan kontrol oleh
orang-orang Islam dalam praktik peradilan.
Namun
begitu, dalam arti yang lebih luas, prinsip yang fundamental bahwa
“organisasi-organisasi pemerintah yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin,
dengan memberikan penghormatan kepada struktur organisasi dan praktik
masyarakat asli yang telah hidup sejak lama dapat dilihat hanya sekedar bentuk
propaganda anti Barat. Dalam tataran praktis, pemerintahan Jepang tidak mampu
membuang para pegawai dan ahli-ahli tekhnik Belanda tersebut[20].
Jepang yang ejak awal merangkul elemen-elemen revolusioner, semakin kabur
dengan nilai-nilai ini karena ternyata tidak dapat berpaling dari kenyataan
bahwa Jepang butuh untuk mengonsolidasikan antara kekuasaan atas tanah dan
penduduk anak negeri. Mereka sebetulnya mencari keuntungan dari sikap
keberpihakan yang radikal tersebut dalam rangka mencari dukungan dari
kekuatan-kekuatan otoritas tradisional. Oleh karena itu tidak mengherankan
apabila pada bulan November tahun 1942 Jepang membentuk suatu komite untuk
studi tentang adat dan sistem politik terdahulu yang tujuannya untuk mengetahui
adat istiadat dan lembaga pemerintahan yang terdahulu dari anak negeri, dan
memberikan kontribusi administrasi bagi administrasi Jawa[21].
Secara
politis, pemerintahan Jepang yang dihadapkan pada kewajiban untuk menenangkan
hati para pendukung mereka pada masa-masa awal invasi, dipaksa untuk mengenyahkan
para administrator dari jabatan mereka, yang pada kenyataannya enantiasa
konflik dengan hukum Islam. Dalam beberapa hal, Jepang juga tidak mengizinkan
adanya intervensi terhadap Hukum Islam atau pengamalannya oleh penduduk asli.
Islam pada akhirnya tidak lebih menjadi sebuah alat bagi Jepang untuk
mengonsolidasikan tujuan-tujuan politik Jepang di Indonesia. Islam, bagi mereka
merupakan alat yang efektif untuk melakukan penetrasi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, memungkinkan sebagai sarana infiltrasi nilai-nilai dan
cita-cita Jepang ke dalam masyarakat awam. Kepentingan yang digantungkan kepada
Islam oleh kekuatan kependudukan Jepang di Indonesia dapat disaksikan lewat
kasus pembentukan Departemen Agama. Jepang menggunakan lembaga ini untuk mengonsolidasikan
posisi mereka di Indonesia dengan kiai dan ulama, yang diharapkan akan mampu
berperan sebagai pelaku transmisi ide-ide dan tujuan Jepang ke dalam idiom dan
budaya masyarakat awam Indonesia. Jadi ketertarikan Jepang dengan Islam,
sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan subjektif, ketimbang komitmen
mereka dalam hal integritas hukum Islam atau kemakmuran masyarakat Islam[22].
Dalam
era peradilan, unifikasi lembaga-lembaga peradilan, pada dasarnya hanya
dilandasi kepada prinsip-prinsip rasial saja, hanya sedikit memberikan dampak
perubahan. Pembagian administrasi wilayah Indonesia dalam tiga kelompok pada
dasarnya menghambat ide unifikasi ini dalam arti yang lebih luas karena
reformasi sistem peradilan nasional secara sungguh-sungguh tidak pernah
terbayangkan oleh pemerintah Jepang. Tidak banyak informasi yang dapat
diperoleh dalam perubahan lembaga peradilan ini. Dengan mengecualikan terhadap
orang-orang yang berkebangsaan Jepang sebagai subjek hukum dalam
lembaga-lembaga peradilan militer mereka sendiri. Fondasi untuk unifikasi
lembaga peradilan yang menangani perselisihan-perselisihan yang melibatkan
semua kelompok masyarakat tetap berlangsung selama masa pendudukan tersebut.
Namun demikian, cukup megherankan bahwa perubahan yang substantif dalam lembaga
peradilan agama juga tidak ada. Dalam praktiknya, satu-satunya aksi yang dapat
dilakukan hanyalah mengubah nama-nama Belanda ke dalam istilah-istilah Jepang. Hal
ini benar untuk pusat-pusat penjajahan seperti Jawa dan Madura dimana
pemerintah Belanda mengubah nama lembaga peradilan agama dari Prieteraadden menjadi Soryoo Hooin[23].
Pengadilan agama tersebut tetap memiliki fungsi yang sama selama dibawah
penjajahan Jepang dengan masa penjajahan Belanda. Lembaga-lembaga peradilan di
Jawa dan Madura menjalankan tugas-tugas mereka seperti biasa, menangani
kasus-kasus perkawinan, kadang-kadang bertindak dalam hal kewarisan. Sedangkan
peradilan diluar Jawa dan Madura masih memiliki wilayah yurisprudensi yang
lebih luas dibanding lembaga-lembaga di Jawa dan Madura, diantaranya termasuk
menangani masalah kewarisan.
Sebenarnya
pernah ada usaha yang dilakukan untuk mengakhiri Peradilan Agama pada waktu
pemerintahan Jepang, yaitu ketika Soepomo mengajukan usulan kepada pemerintahan
Jepang untuk menghapuskan peradilan Agama. Bersamaan dengan proposal yang
diajukan oleh Soepomo kepada pemerintahan Jepang, pada tanggal 14 April 1943
datang pula usulan dari Jepang yang berisi untuk meniadakan Peradilan Agama
karena Jepang menginginkan adanya pemisahan antara urusan pemerintahan dengan
urusan agama di wilayah Indonesia. Mengenai pengamalan hukum Islam, Jepang
tidak melarang dan menyerahkan sepenuhnya masalah keyakinan dan tata cara
menjalankannya kepada masyarakat Indonesia tanpa ada campur tangan dari
pemerintah. Namun rekomendasi ini tidak pernah terlaksana karena pihak Jepang
khawatir akan timbul pemberontakan dan perlawanan dari mayarakat Islam di Indonesia.
Namun demikian, fenomena mengenai tidak terlaksananya rekomendasi Jepang ini
sebenarnya lebih dikarenakan pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya sebentar
saja. Pada akhirnya, Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang ini tidak
mengalami perubahan seperti pada masa penjajahan Belanda[24]
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari
pembahasan dari makalah tersebut, dapat kita ambil beberapa kesimpulan yaitu,
apabila kita berbicara mengenai peradilan pada masa penjajahan Jepang, langkah
awal yang perlu kita ketahui adalah mengetahui tentang definisi peradilan itu
sendiri. Kata Peradilan berasal dari kata adil, mendapat awalan per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari kata Qadla yang artinya memutuskan,
melaksanakan, dan menyelesaikan. Disamping arti menyelesaikan dan menunaikan
seperti diatas, qadla dapat pula berarti
memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan. Menurut para pakar peradilan,
arti yang terakhir itulah yang menurutnya yang paling signifikan atau paling
benar.
Putusan
sebagai produk dari peradilan, erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Sedangkan putusan berbeda dengan qadla, perbedaan itu terdapat pada
beberapa hal sebagai berikut :
Pertama,
mufti dapat menolak untuk memberikan suatu fatwa sedangkan qadla atau peradilan tidak boleh menolak para
pihak yang mengajukan permohonan keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan
tersebut belum ada.
Kedua,
qadla dasarnya atau didasarkan pada
fakta (kenyataan) yang dicari oleh hakim, sehingga hakim harus memutus sesuai
dengan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya adalah ilmu (pengetahuan), sehingga
mufti harus memberikan fatwa sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.
Ketiga,
putusan itu mempunyai daya paksa atau harus dituruti, sehingga negara dapat
memaksakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, sedangkan fatwa tidak
mengharuskan seseorang untuk mengikutinya sehingga negara tidak dapat campur
tangan untuk melaksanakan fatwa tersebut.
Keempat,
fatwa tidak boleh dibatalkan, sedangkan qadla
boleh atau bisa dibatalkan oleh lembaga yang lebih tinggi.
Kelima,
fatwa merupakan produk pribadi sedangkan qadla
(putusan) adalah produk negara.
Kata
Peradilan Islam jika tidak digabung atau disambung dengan Kata “Indonesia” maka
yang dimaksud adalah peradilan menurut konsep Islam secara universal. Untuk
menghindari kekeliruan dalam pemahaman, Peradilan Islam di Indonesia cukup dengan
menggunakan istilah Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi
salah satu dari keempat lingkungan Pengadilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman
yang sah di Indonesia. Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara
di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus, yang berwenang dalam perkara
perdata Islam tertentu, dan hanya bagi orang-orang Islam Indonesia.
Setelah
mengetahui mengenai peradilan Islam Indonesia, berikutnya yang harus diketahui
adalah keadaan sosial politik pada waktu Jepang menjajah Indoneia. Jepang
memulai invasinya di Indonesia dan mendarat pertama kali pada tanggal 11
Januari 1942 dan mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Pada saat pertama kali
datang ke Indonesia, Jepang membawa propaganda-propagandanya untuk menarik
perhatian Masyarakat Indonesia. Jepang membuat gerakan-gerakan untuk mendukung
program propaganda yang diusungnya tersebut diantaranya adalah 3A, Poetra, Peta
dan lain-lain. Pada awal kedatangannya di Indonesia Jepang disambut seolah
Pahlawan karena selalu membicarakan tentang kemerdekaan bangsa-bangsa Asia.
Jepang mendekati para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dan para Ulama yang
berpengaruh serta menggunakan Islam sebagai alat politiknya untuk pertama
kalinya. Semakin lama kependudukan Jepang di Indonesia, mulai terlihatlah bahwa
Jepang hanya memanfaatkan Indonesia dan hanya ingin menguasai sumber daya yang
ada di Indonesia dengan menjajahnya. Hal tersebut mulai terlihat ketika ada
peraturan mengenai Kerja Paksa, dan adanya penipuan dengan menjadikan
gadis-gadis di Indonesia sebagai wanita penghibur di camp-camp mereka, dan
masih banyak kebijakan-kebijakan Jepang yang menyengsarakan Rakyat Indonesia.
Hal ini mendorong Rakyat Indonesia untuk melawan balik terhadap Jepang hingga
Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus
1945 sehingga Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Pada
awal kependudukan Militer Jepang di Indonesia, Pemerintah Militer Jepang begitu
faham kondisi sosial keagamaan dari masyarakat Indonesia sehingga Pemerintah
Militer Jepang mempolitisasi Islam di Indonesia sebagai alat untuk menanamkan
pengaruhnya di Indonesia. Diantara usaha Jepang untuk menanam pegaruhnya dalam
rangka mencari dukungan masyarakat Muslim Indonesia dan menjajah Indonesia adalah
dengan mendirikan berbagai instansi dan organisasi seperti pendirian Kantor
Urusan Agama (Shumubu), Gerakan 3A
yang di dalamnya terdapat PPUI (Persiapan Persatuan Umat Islam), Pembentukan
Masyumi, Peta dan lain sebagainya. Sementara untuk memuluskan perjalanannya,
Jepang juga merangkul tokoh-tokoh Islam perkotaan dan Pedesaan. Tokoh
Nasionalis juga dirangkul Jepang sebagai kekuatan penyeimbang.
Setelah
mengetahui definisi Peradilan Islam, kondisi sosial masyarakat pada waktu
kependudukan Jepang di Indonesia, dan Politik pemerintahan Jepang terhadap
Islam barulah dibahas mengenai Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda
agar memperoleh pemahaman yang utuh. Peradilan Agama pada masa penjajahan
Jepang secara substansial tidak mengalami perubahan secara substansial. Pada
masa penjajahan Jepang peradilan Agama hanya dirubah namanya dalam bahasa
Jepang menjadi Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikoo Kootoo Hooin untuk Pengadilan Tinggi Agama. Keberadaan
Pengadilan Agama pada masa penjajahan Jepang pernah terancam akan ditiadakan
sejak ada usulan dari Mr. Soepomo kepada pemerintah Jepang pada tahun 1944.
Bersamaan dengan usulan tersebut muncul saran dari Jepang pada 14 April 1945
yang mengatakan bahwa di Indonesia antara Agama dan negara harus dipisah,
pengamalan mengenai agama termasuk pengadilan Agama harus diserahkan secara
penuh kepada masyarakat dan negara tidak boleh mencampurinya. Tetapi
usulan-usulan tersebut tidak pernah terealisasi karena bangsa Indonesia telah
memperoleh kemerdekaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1997.
2.
Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Ja-
karta:
Penerbit Khalifa. 2004.
3.
Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama Islam di Indonesia.
Yogyakarta
: UII Press. 2007.
4.
Aripin, Jaenal. Jejak-Jejak Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kenca-
na Media Group. 2013.
5.
Aristonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia. –
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005.
6.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung:
Remaja Rosda Karya. 1997.
7. Benda,
J. Harry. Bulan Sabit dan Matahari Terbit.
Bandung: Pustaka Jaya.
1980.
8. Djalil,
Basiq. Peradilan Islam. Jakarta:
Pustaka Amzah. 2012.
9.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada -
Media
Group. 2006.
10. Effendi,
Bachtiar. Merambah Jalan Baru Islam
Rekonstruksi Pemikiran -
Masa Orde Baru.
Bandung: Pustaka Mizan. 1986
11.
Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama. Jaka -
rta:
Sinar Grafika. 1996.
12. Kotto,
Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2012.
13. Lukito,
Ratno. Pergumulan Antara Hukum Adat dan
Hukum Islam. Jaka -
rta: INIS. 1998.
14. Nuh,
Zaini Ahmad. Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam di Indonesia
. Surabaya: Bina Ilmu.
1983.
15. Shiddieqy,
Hasbi Ash-. Peradilan dan Hukum Acara
Islam. Yogyakarta: -
PT. Ma’arif. 1994.
[2]
A. Basiq Djalil., Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012).
hlm. 3.
[3]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta:
PT Ma’arif, 1994). hlm. 29.
[4]
A. Basiq Djalil., Peradilan Islam (Jakarta:
Amzah, 2012). hlm. 5.
[5]
Ibid., hlm. 7.
[6]
Ibid., hlm. 8.
[7]Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih
bahasa oleh Daniel Dhakidae (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1980). hlm. 154.
[8]
Ibid., hlm. 164.
[9] Ibid.,
hlm. 158.
[10]
Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005).hlm. 213.
[11]
Ibid.,hlm. 216
[12]
Ibid.,hlm. 221.
[13]
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta:
Amzah, 2012). hlm. 199.
[14]
Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 231.
[15]
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 51.
[16] A. Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012). hlm. 199.
[17]
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 51.
[18]
Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi
Pemikiran Masa Orde Baru (Bandung: Pustaka Mizan, 1986). hlm. 93.
[19]
Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012). hlm. 236.
[20]
Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm.
236.
[21] Ratno
Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan
Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 54.
[22]
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia (Jakarta: INIS, 1998). hlm. 54.
[23]
Zaini Ahmad Nuh,
Sejarah
Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1983). hlm. 44.
[24]
Alaiddin Kotto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012). hlm.
241.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini