Lafadz Dari Aspek Dilalahnya dan Mafhum Mukhalafah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Al
Qur’an dan Al Hadits merupakan dua buah kitab suci Umat Islam yang sangat
penting dan menjadi sumber penggalian hukum Islam, Al Qur’an diturunkan
menggunakan bahasa Arab dan begitupula Al Hadits yang dituturkan dengan bahasa
Arab. Al Qur’an diturunkan untuk memberikan panduan hukum kepada manusia agar
manusia dapat memahami bagaimana hukum yang dikehendaki oleh Tuhan. Karena Al
Qur’an dan Al Hadits berbahasa Arab sering ditemukan masyaqqah atau
kesulitan-kesulitan dalam memahami Al Qur’an dan Al Hadits karena tiap lafadz
dalam bahasa Arab mempunyai arti yang banyak sehingga menimbulkan penunjukan
(dalalah) dan hasil pemahaman yang berbeda. Begitu pula dengan metode dalam
memahami Al Qur’an dan Al hadits terutama dari aspek kebahasaannya terkadang
juga mengalami kesulitan sehingga tidak bisa dihindarkan dari perbedaan dari metode-metode pamahamannya
termasuk metode mafhum mukhalafah. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas
itulah makalah ini disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok
dalam mata kuliah Ushul Fiqh.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan dalalah dan
bagaimana dalalah menurut Ulama Ushul ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan mafhum
mukhalafah ?
3.
Apa sajakah bentuk-bentuk atau
macam-macam dari mafhum mukhalafah itu ?
4.
Dan bagaimana kehujjahan mafhum
mukhalafah menurut para Ulama ?
C.
Tujuan Penulisan.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan dalalah dan dalalah menurut Ulama Ushul serta pembagian dalalahnya.
2.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan mafhum mukhalafah.
3.
Untuk mengetahui macam-macam mafhum
mukhalafah.
4.
Untuk mengetahui kehujjahan mafhum
mukhalafah sebagai hukum menurut para Ulama.
D.
Metode Penulisan.
Metode
penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Dalalah dan Dalalah dalam Pandangan Ulama Ushul.
Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak
terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen
penggalian hukum syariah menyangkut lafadz. Termasuk juga pembahasan mengenai
penunjukan (dalalah) lafadz dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, karena
lafadz-lafadz penunjukan dalam Al-Qur’an maupun Al-hadits akan mempunyai
pengaruh yang besar dalam proses penetapan hukum.
Dalalah
menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata “dalla yadullu” yang berarti petunjuk
atau penunjukkan, dapat pula dalalah diartikan “kepada maksud tertentu”. Sedangkan
dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian
yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil
kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah lafadz itu ialah
makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar
pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh
sesuatu dalil nash.
Nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh
disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dilalah
tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh
Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut : “segala sesuatu yang dapat
dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan
(menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun
zhanniy”.
Oleh karena
itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil
hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam
usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar
dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim.
Atas dasar
ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dalalah
ialah sesuatu yang ditunjukkan. Penunjukan lafadz atau
dalalah ini mempunyai beberapa macam, hanya saja dikalangan ulama ushul fiqh
tidak sependapat dalam membaginya. Dalam hal ini dikenal adanya macam-macam
dalalah menurut ulama Hanafiyah dan macam-macam dalalah menurut ulama
Syafi’iyah.
Ulama
Hanafiyah membagi dalalah atau penunjukan lafadz ini menjadi empat macam, yaitu
:
1.
Dalalah Ibaratun nash.
Dalalah
Ibaratun Nash ialah petunjuk lafadz pada suatu arti yang mudah difahami baik
maksudnya untuk arti ashli maupun
untuk arti tab’i. Dikatakan demikian,
karena petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir, sebagaimana yang
dikatakan Bidran Abul ‘Aini Bidran,
dalalah ibaratun nash ialah petunjuk lafadz pada artinya yang cukup jelas baik
dimaksudkan sebagai arti ashli maupun
arti tab’i. Dengan demikian petunjuk
lafadz dalam dalalah ‘ibaratun nash ini bukan petunjuk lafadz kepada arti yang
tidak jelas dan juga petunjuk lafadz kepada arti yang tersirat atau tersimpul
atau arti yang tersembunyi dibalik arti yang terang itu. Dan yang dimaksud
dengan arti ashli ialah arti yang
mula-mula terpakai dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash. Sedangkan
yang dimaksud dengan arti tab’i adalah arti lain yang cukup jelas atau yang
mudah dapat difahami dari lafadz tersebut. Sebagai contoh dalam firman Allah
SWT dalam surat Al Baqarah 275 yang berbunyi “Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba ....”. dalalah ibaratun nash dalam ayat tersebut
menunjukkan kepada dua arti, yakni arti ashli
dan arti tab’i. Arti ashli yang
difahami dengan dilalah ibaratun nash pada ayat tersebut yaitu, bahwa jual beli
tidak sama dengan riba. Arti ini dikatakan sebagai arti ashli, karena mula-mula
dimaksudkan dengan susunan lafadz nash tersebut adalah untuk menolak pendapat
bahwa jual beli sama dengan riba, seperti yang diterangkan sebelumnya dalam
ayat itu yang berbunyi “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri sendiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan
mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba ...” (Al Baqarah :
275). Arti ini disebut dengan arti tab’i, karena merupakan arti lain dari ayat
tersebut yang dipahami dengan dalalah ‘ibaratun nash.
2.
Dalalah Isyaratun Nash.
Dalalah
Isyaratun Nash ialah petunjuk lafadz kepada arti yang dipahami dengan jalan
mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun
nash. Atau menurut bahasa Abu Zahrah, yaitu dengan menyimpulkan dari arti yang
dipahami dengan dalalah ibaratun nash. Sebagai contoh dalam firman Allah SWT
dalam surat Al Baqarah : 236 yang berbunyi “tidak ada sesuatupun (mahar) atas
kamu. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya ....”. arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas ialah
: boleh mentalak istri yang belum dikumpuli serta belum ditentukan maharnya.
Dari arti tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya
terlebih dahulu adalah sah. Arti ini difahami dengan dalalah ibaratun nash,
karena disimpulkan dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.
3.
Dalalah Dalalatun Nash.
Dalalah
Dalalatun Nash ialah petunjuk lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut
oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu
lafadz, sebab illat yang dipahami dari lafadz itu sama dengan ‘illat suatu
peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya.
Perlu
dijelaskan lebih lanjut bahwa ‘illat dalam dalalah dalalatun nash adalah yang
dipahami dari pengertian lafadz itu sendiri, bukan ‘illat yang dihasilkan dari
ijtihad. Dan atas dasar inilah para ulama membedakan antara dalalah dalalatun
nash dengan qiyas. Sebab ‘illat dalam qiyas dapat terjadi dari ‘illat yang
dipahami dari suatu lafadz dan dapat pula ‘illat yang dihasilkan dari ijtihad.
Adakalanya illat itu lebih terwujud pada peristiwa yang tidak diterangkan
hukumnya daripada yang disebutkan hukumnya suatu lafadz. Sebagai contoh dari
firman Allah SWT surat Al Isra’ ayat 23 yang berbunyi “maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah ....”.
artinya yang dapat dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas,
yaitu : larangan berkata kasar kepada kedua orang tua. Dan illat larangan
tersebut yaitu : meyakinkan, yang diambil dari pegertian yang terkandung dalam
lafadz perkataan ah, illat ini (menyakitkan) lebih pantas terwujud pada
perbuatan-perbuatan seperti : memaki-maki, memukul, dan yang serupa atau lebih
dari itu.
Oleh
karena itu dengan dalalah dalam nash dapat ditetapkan bahwa perbuatan-perbuatan
tersebut diatas dilarang. Dan adakalanya pula illat pada perbuatan yang
hukumnya telah diterangkan oleh lafadz sama akibatnya dengan pada perbuatan
belum diterangkan. Seperti firman Allah SWT dalam surat An Nisa’ ayat 10 yang
berbunyi “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api (neraka).”.
Arti
yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash dari ayat diatas yaitu : haram makan
harta anak yatim secara dhalim. Sedangkan illat larangan yang diambil dari ayat
tersebut yakni karena perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap harta anak
yatim, yang mana ia tidak mampu melawan tindak pelanggaran. Illat ini sama
akibatnya pantasnya terwujud pada perbuatan-perbuatan yang tidak disebut pada
ayat diatas, seperti membakar, menenggelamkan, dan sebagainya. Akibatnya sama
yaitu melenyapkan harta anak yatim itu. Maka dengan dalalah dalalatun nash,
perbuatan-perbuatan tersebut ditetapkan juga sebagai perbuatan hukum.
4.
Dalalah Iqtidlaun Nash[1].
Dalalah
Iqtidlaun Nash ialah yang mengandung suatu pengertian dalam sesuatu hal yang
tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan
(lafadz) yang ditakdirkan (dianggap tetap). Sebagai contoh dalam sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi “Dihapuskan dari umatku, kekeliruan, lupa dan
sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa.” (HR. At Thabari dan Ibnu Hibban). Arti
yang dipahami dengan ibaratun nash dari hadits di atas, yakni dihapuskan
perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa dan terpaksa. Namun yang
demikian itu adalah suatu hal yang mustahil, sebab tidak mungkin sama sekali
perbuatan yang telah terjadi itu dapat dihapuskan. Untuk dapat menjadi benar
arti hadits di atas yaitu : (hukum) sehingga arti hadits tersebut menjadi :
dihapuskan dari umatku dosa atau hukum, atas perbuatan yang dilakukan karena
kekeliruan, lupa dan terpaksa. Kata Ismun atau hukmun adalah ungkapan yang
ditakdirkan dan dianggap tepat untuk memperjelas maksud hadits tersebut.
Selain
pembagian menurut ulama Hanafiyah diatas, ada pula pembagian dalalah menurut
Ulama Syafi’iyah. Dalam garis besarnya ulama syafi’iyah membagi dalalah menjadi
dua macam, yaitu :
1.
Dalalah Mantuq.
Dalalah
Mantuq ialah petunjuk lafadz kepada arti yang disebutkan oleh lafadz itu
sendiri. Syaikh Muhammad Al Khudari menjelaskan bahwa, dalalah mantuq dibagi
lagi menjadi dua macam, yaitu :
a.
Dalalah Mantuq Sharih.
Yaitu
petunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut,
misalnya dalam firman Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 23 yang berbunyi
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua)
perkataan ah ......”
Lafadz
pada ayat diatas, secara tegas menunjukkan keharaman berkata kasar kepada kedua
orang tua.
b.
Dalalah Mantuq Ghairu Sharih.
Yaitu petunjuk lafadz
kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. Arti yang
ditunjuki dengan dalalah mantuq ghairu sharih ini dapat berupa : pertama, arti
yang dikehendaki oleh pembicaraan lafadz (syara’) akan tetapi tidak secara
tegas disebutkan oleh tuturan lafadznya, dan kedua arti yang disebutkan oleh
tuturan lafadz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan (syara’). Untuk yang
pertama, dapat berbentuk :
a.
Petunjuk lafadz kepada keharusan adanya
sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau keabsahan suatu pembicaraan
sangat tergantung kepadanya. Dalalah semacam ini menurut ulama Hanafiyah
disebutkan dengan dalalah iqtidhaun nash.
b.
Petunjuk lafadz kepada arti yang
disertai dengan sifat yang merupakan illat (alasan) bagi adanya arti tersebut.
Seandainya sifat itu bukan merupakan illatnya, maka tidak ada gunanya dengan
menyebutkan itu. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 38
yang berbunyi “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
kedua tangannya ......”. adanya hukuman potong tangan pada ayat di atas,
disertai alasan yakni pencurian. Arti yang dapat difahami dengan dalalah ini
ialah bahwa pencurian menjadi illat bagi adanya hukuman itu bukan merupakan
illat bagi adanya hukuman potong tangan, maka penyebutannya sudah barang tentu
tidak akan ada artinya.
Dalalah
ini disebut pula dengan dalatun tambihwalima (memberi tahu dan memberi isyarat
secara halus)[2].
Untuk
yang kedua arti yang ditunjuki oleh lafadz bukan dimaksudkan ialah yang diambil
dari kelaziman (kemestian) atau kesimpulan dari arti yang dituturkan oleh
lafadz itu. Misalnya dari firman Allah SWT dalam surat Al Ahqaf ayat 15 yang
berbunyi “......... Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan
............” dari firmanNya dalam surat Luqman ayat 14 yang artinya “ .......
dan menyapihnya dalam dua tahun”. Dari yang diturunkan oleh lafadz dua ayat di
atas dapat disimpulkan dalam sebuah arti yakni, masa hamil paling sedikit enam
bulan. Dalalah ini sama dengan dalalah isyaratun nash menurut Ulama Hanafiyah.
2.
Dalalah Mafhum.
Dalalah
mafhum ialah petunjuk lafadz kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz
tersebut, tetapi faham tersebut tersirat didalamnya. Dalalah mafhum terbagi
menjadi dua macam, yakni mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a.
Dalalah Mafhum Muwafaqah.
Dalalah
mafhum muwafaqah ialah pengertian yang menunjukkan lafadz kepada berlakunya
arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang
tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang disebutkan karena antara keduanya
terdapat persamaan illat hukumnya. Perlu ditandaskan bahwa illat hukum ini
adalah semata-mata dipahami dari segi bahasa dari lafadz tersebut bukan diambil
dengan jalan ijtihad.
Manakala
illat hukum itu sama pantasnya untuk diterapkan pada peristiwa yang tidak
disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz maka dalalah ini disebut dengan lahnul khitab. Dan apabila illat hukum
itu lebih pantas untuk diterapkan pada peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya
oleh suatu lafadz, maka dalalah ini disebut dengan fahwa khitab. Al Mawardi dan Ar-Ru’yani menjelaskan behwa perbedaan
antara fahwa khitab dan lahnul khitab
dapat pula dilihat dari dua segi. Pertama, fahwal khitab adalah suatu petunjuk
yang ditekankan oleh lafadz, sedangkan lahnul khitab adalah suatu petunjuk yang
terpancar dari lafadz. Kedua, fahwal khitab adalah suatu lafadz yang
menunjukkan suatu petunjuk lebih jelas daripada ungkapan lafadz itu sendiri, sedangkan
lahnul khitab adalah suatu lafadz yang menunjukkan pada suatu petunjuk yang
sama dengan ungkapan lafadz itu sendiri[3]. Jika
dibandingkan dengan pembagian dalalah menurut ulama Hanafiyah, maka dalalah
nash mafhum muwafaqah sama dengan dalalah dalalatun nash. Selain ulama
Dhahiriyah, para ulama sepakat atas kebolehan berhujjah dengan dalalah mafhum
muwafaqah.
b.
Dalalah Mafhum Mukhalafah.
Dalalah mafhum
mukhalafah ialah pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) kepada
sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum) yang disebutkan dalam nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah
mafhum mukhalafah ini, disebut juga dengan dalilul khitab. Untuk penjelasan
lebih lanjut mengenai dalalah mafhum mukhalafah akan diurai pada sub bab
selanjutnya[4].
B.
Definisi Mafhum Mukhalafah.
Mafhum mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa
hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan
dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari
mantuq-nya, karena tidak adanya batasan yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah disebut juga dalil
khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang
disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebutkan. Dinamai dalil khitab, karena dalil hukumnya
diambil dari jenis khitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas
hukum itu. Ulama hanafiyah menamakan dalil khitab dengan nama al-makhsus bi dzikri. Mereka memandang
bahwa berpegang pada dalil ini termasuk fasid.
C.
Macam-macam Mafhum Mukhalafah.
Dalam
dalalah mafhum mukhalafah, dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu mafhum
laqab, mafhum hassr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum
‘adad.
1.
Mafhum laqab.
Mafhum
laqab ialah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim
alam atau isim jenis dalam suatu nash, sebagai contoh dari sabda rasulullah SAW
yang berbunyi “Pada gandum dikenakan zakat”. Dengan mafhum laqab maka
ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.
2.
Mafhum Hasshr.
Mafhum
hasshr ialah menetapkan hukum sebaliknya daripada hukum yang dibatasi dengan
yang disebutkan oleh lafadz dalam suatu nash, misalnya dalam sabda Rasulullah
SAW yang berbunyi “Hanyasanya syuf’ah itu terdapat pada sesuatu (benda tetap)
yang belum dibagi”. Lafadz hadits diatas menyebutkan bahwa hukum syuf’ah
terbatas pada benda tetap yang belum atau tidak dapat dibagi. Oleh karena itu,
mafhum hasshrnya yaitu bahwa selain pada benda tetap yang belum dibagi tidak
berlaku hukum syuf’ah.
3.
Mafhum Shifat.
Mafhum
shifat ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum
sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafadz itu pada
sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafadz tersebut.
Misalnya firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi “Dan
barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki .....”. Kebolehan mengawini budak
yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah budak yang beriman. Jadi, beriman
adalah sifat yang diberikan kepada budak yang boleh dikawini, oleh karena itu
mafhum sifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.
4.
Mafhum Syarat.
Mafhum syarat ialah
petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat
supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu
yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu, sebagai contoh dari
firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 6 yang berbunyi “Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkah hingga melahirkan ....”. Hukum yang disebut oleh lafadz ayat
diatas (dalalah manthuqnya), yakni wajib memberi nafkah istri yang dithalak
dalam keadaan hamil sampai dengan melahirkan. Jadi, kehamilan seorang istri
yang dithalak menjadi syarat bagi adanya kewajiban bekas suami memberi nafkah
kepadanya. Oleh karena itu mafhum syaratnya ialah, tidak wajib bagi bekas suami
memberi nafkah kepada istri yang dithalak tidak dalam keadaan hamil.
5.
Mafhum Qhayah.
Mafhum
Ghayah ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan
batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan itu
maka berlaku hukum yang sebaliknya seperti firman Allah yang artinya : Kemudian
jika suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain (Al Baqarah :
230).
Hukum
yang disebutkan oleh ayat diatas (dalalah manthuqnya) yaitu, bahwa keharaman
bekas suami mengawini bekas istrinya yang telah dithalak tiga dibatasi sampai
dengan bekas istri itu kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian diceraikan
pula. Dengan demikian, mafhum ghayahnya, yaitu boleh lagi bekas suami menikahi
bekas istri yang telah nikah dengan laki-laki lain kemudian telah diceraikan
dan telah habis pula masa iddahnya.
6.
Mafhum ‘Adad.
Mafhum
‘Adad ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh
hukum yang dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang
berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang
disebutkan oleh lafadz itu. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An Nur
ayat 2 yang berbunyi “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka
deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali .........”. hukuman dera
yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) baik laki-laki
maupun perempuan yang disebutkan oleh lafadz ayat diatas yaitu seratus kali.
Dengan demikian, maka mafhum adadnya ialah tidak memadai mendera orang yang
berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang seratus kali,
dan juga tidak boleh melebihi itu.
D.
Kehujjahan Mafhum Mukhalafah.
Para
Ulama sepakat bahwa mafhum Laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
hukum, sebab penyebutan dengan isim ‘alam atau isim jenis itu, sekedar untuk
menyebutkan adanya hukum padanya, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan
berlakunya hukum padanya saja oleh karena itu dalam hal ini tidak dapat
diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya,
selain itu jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujjah, pastilah akan mencegah
usaha mencari illat hukumnya yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan
mengqiyaskan sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun dari para ulama
pendukung qiyas yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam
atau isim jenis tidak boleh dicari illat hukumnya.
Sedangkan terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut
kamal ibnu Human, lebih rajih (kuat) ialah bahwa meniadakan suatu hukum atau berlakunya hukum sebaliknya
bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu (dengan dalalah
manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr menurut arti
bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan juga
meniadakannya.
Kemudian
terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum
ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan
sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :
1.
Mafhum mukhalafah tidak bertentangan
dengan dalalah mantuq dengan nash lain.
2.
Apabila adanya pambatasan hukum yang
disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan
hukum sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut
mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang
tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan
Ulama hanafiyah menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Dalam hal ini
mereka mengemukakan beberapa alasan, diantaranya :
1.
Banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi
SAW yang menunjukkan tidak boleh menggunakan mafhum mukhalafah, sebab kalau
boleh diambil dengan mukhalafah niscaya akan menimbulkan adanya arti yang
keliru atau akan mengakibatkan adanya hukum-hukum yang bertentangan dengan
hukum yang ditetapkan oleh syara’.
2.
Seandainya mafhum mukhalafah dapat
dijadikan hujjah, berarti tidak mengambil hujjah dengan hukum yang disebut oleh
nash itu.
3.
Jika mafhum mukhalafah dijadikan hujjah,
berarti kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukhalafah tersebut dan
menginggalkan hukum yang ditinggalkan oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash
yang menunjukkan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhum mukhalafah.
4.
Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa
adanya pembatasan hukum yang disebut pasti mempunyai kegunaan dan jika tidak
mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; Ulama Hanafiyah menganggap kegunaan itu
bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut,
melainkan kegunaannya ialah adanya yang tidak disebut itu justru mengharuskan
diambil hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan kaidah
“asal sesuatu adalah mubah”.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesimpulan
yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa dalalah menurut etimologi
berasal dari kata “dalla-yadullu-dalalatan” yang berarti petunjuk atau
penunjukkan, sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan dalalah adalah penunjukkan
suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan
pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil
nash. Penunjukan
lafadz atau dalalah ini mempunyai beberapa macam, hanya saja dikalangan ulama
ushul fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam hal ini dikenal adanya
macam-macam dalalah menurut ulama Hanafiyah dan macam-macam dalalah menurut
ulama Syafi’iyah.
Ulama
hanafiyah membagi dalalah kepada empat macam, yaitu :
1.
Dalalah ibaratun nash, yaitu petunjuk
lafadz pada suatu arti yang mudah difahami baik maksudnya untuk arti ashli maupun untuk arti tab’i.
2.
Dalalah Isyaratun nash, yaitu petunjuk
lafadz kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian)
dari arti yang dipahami dengan dalalah ibaratun nash.
3.
Dalalah Dalalatun nash, yaitu petunjuk
lafadz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada
peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, sebab illat
yang dipahami dari lafadz itu sama dengan ‘illat suatu peristiwa yang tidak
disebutkan hukumnya.
4.
Dalalah Iqtidlaun nash, yaitu yang
mengandung suatu pengertian dalam sesuatu hal yang tidak disebutkan lafadznya
untuk ketepatan artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz) yang ditakdirkan
(dianggap tetap).
Selain
pembagian menurut ulama Hanafiyah diatas, ada pula pembagian dalalah menurut
Ulama Syafi’iyah. Dalam garis besarnya ulama syafi’iyah membagi dalalah menjadi
dua macam, yaitu :
1.
Dalalah mantuq, yaitu petunjuk lafadz
kepada arti yang disebutkan oleh lafadz itu sendiri. Syaikh Muhammad Al Khudari
menjelaskan bahwa, dalalah mantuq dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Dalalah
mantuq shorih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan
oleh lafadz tersebut.
b. Dalalah
mantuq ghairu sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas
disebutkan oleh lafadz tersebut.
2.
Dalalah Mafhum, yaitu petunjuk lafadz
kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi faham tersebut
tersirat didalamnya. Dalalah mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Dalalah
Mafhum Mufaqah, yaitu pengertian yang
menunjukkan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang disebutkan oleh
lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh lafadz yang
disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan illat hukumnya.
b. Dalalah
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum)
kepada sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum) yang disebutkan dalam
nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz.
Dalam
dalalah mafhum mukhalafah, dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu mafhum
laqab, mafhum hassr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum
‘adad.
Kehujjahan
mafhum mukhalafah menurut ulama berbeda-beda. Para Ulama sepakat bahwa mafhum
Laqab tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum, sebab penyebutan
dengan isim ‘alam atau isim jenis itu, sekedar untuk menyebutkan adanya hukum
padanya, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja
oleh karena itu dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya,
kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Sedangkan terhadap mafhum hasshr terbatas. Menurut
kamal ibnu Human, lebih rajih (kuat) ialah bahwa meniadakan suatu hukum atau berlakunya hukum sebaliknya
bagi yang tidak disebutkan oleh lafadz dalam suatu lafadz itu (dengan dalalah
manthuq) sebab kata-kata yang digunakan untuk menyatakan hashhr menurut arti
bahasa mencakup sekaligus untuk menetapkan (sesuatu hukum) dan juga
meniadakannya.
Kemudian
terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum
ghayah, dan mafhum adad, Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan
sebagai hujjah, namun dengan ketentuan :
3.
Mafhum mukhalafah tidak bertentangan
dengan dalalah mantuq dengan nash lain.
4.
Apabila adanya pambatasan hukum yang
disebut (manthuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan
hukum sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut
mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, maka sudah barang
tentu dalam hal itu mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan
Ulama hanafiyah menolak berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Dalam hal ini
mereka mengemukakan beberapa alasan, diantaranya :
5.
Banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi
SAW yang menunjukkan tidak boleh menggunakan mafhum mukhalafah, sebab kalau
boleh diambil dengan mukhalafah niscaya akan menimbulkan adanya arti yang
keliru atau akan mengakibatkan adanya hukum-hukum yang bertentangan dengan
hukum yang ditetapkan oleh syara’.
6.
Seandainya mafhum mukhalafah dapat
dijadikan hujjah, berarti tidak mengambil hujjah dengan hukum yang disebut oleh
nash itu.
7.
Jika mafhum mukhalafah dijadikan hujjah,
berarti kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukhalafah tersebut dan
menginggalkan hukum yang ditinggalkan oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash
yang menunjukkan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhum mukhalafah.
8.
Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa
adanya pembatasan hukum yang disebut pasti mempunyai kegunaan dan jika tidak
mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; Ulama Hanafiyah menganggap kegunaan itu
bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut,
melainkan kegunaannya ialah adanya yang tidak disebut itu justru mengharuskan
diambil hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan kaidah
“asal sesuatu adalah mubah”.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka
Setia.
2.
Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh Jilid II. Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf.
3.
Khallaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung: Gema Risalah
Press.
4.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Prenada Media
Group.
5.
Shodiqin, Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta: Beranda
Publishing.
[1] Drs.
Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
1995). Hlm. 87-91.
[2] Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul
Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Hlm. 95-96
[3]
Prof. Dr. Rahmat Syafe’i
MA, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hlm. 216.
[4] Drs. Kamal Mukhtar dkk, Ushul
Fiqh Jilid II (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Hlm. 95-98.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini