Advertisements

Minggu, 12 April 2015

Imam Hanafi dan Mazhab Hanafiyah

A. Biografi Imam Hanafi
Nama lengkap Abu Hanifah adalah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan Persi, lahir di Kuffah tahun 80 H/966 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M. Ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni dimasa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah. Beliau lahir pada masa pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal dunia pada masa khalifah Abu Bakar al-Mansur. Menurut kebanyakan ahli sejarah, bahwa beliau berumur 70 tahun, dimana 52 tahun hidup pada masa Bani Umayyah dan 18 tahun pada masa Bani Abbasiyah. Ketika Abdul Malik ibn Marwan meninggal, umur beliau masih 16 tahun, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan al-Hajjaj pada umur 15 tahun. Ketika al-mansur berkuasa di Baghdad, banyak ulama dipanggil ke kota, termasuk Abu Hanifah. Berkali-kali Beliau ditawari menjadi qadli namun ditolaknya sehingga beliau dipenjara sampai meninggal dunia tahun 150 H/767 M .
Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang terkenal dengan “al-Imam al-A’zham” yang berarti Imam Terbesar.
Kakek Imam Abu Hanifah adalah Zautha yang berasal dari kabul (Afghanistan), yaitu tawanan perang, karena dia berperang melawan Utsman bin Affan sewaktu menaklukan Persia.
Penaklukan tersebut bukan hanya di Persia tetapi sampai ke Khurasan dan Afghanistan, sedangkan Zautha termasuk salah satu menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena telah masuk Islam.
Setelah dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kuffah dan selanjutnya ia berdagang sutera di kota Kuffah dan lahirlah anaknya yg diberi nama Tsabit yaitu ayah dari Abu Hanifah.
Abu Hanifah adalah panggilan dari Nu’man ibnu Tsabit bin Zautha. Dalam hal ini terjadi beberapa riwayat tentang panggilan Abu Hanifah, antara lain, yaitu :
1. Karena salah satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu hanifah berarti bapak dari Hanifah.
2. Dia adalah seorang yang sangat taqwa kepada Allah, dan prinsipnya tidak dapat digoyahkan, dia tetap berprinsip teguh dengan agama Islam. Dia tidak akan tergoyahkan dengan bujukan apapun yang diajukan kepadanya, baik itu menguntungkan terlebih lagi yang dapat merugikan dirinya. Misalnya dia akan diangkat menjadi pembesar oleh Khalifah dengan syarat Abu Hanifah harus meninggalkan prinsipnya. Dalam hal ini abu Hanifah lebih baik dia dipenjara daripada dia harus meninggalkan prinsipnya. Demikian kuat prinsip dari Imam Abu Hanifah.
Dengan demikian Abu Hanifah berarti berasal dari kata Abu yang berarti hamba, dan Hanifah berarti cenderung atau condong berbuat baik dan taat. Dengan demikian Abu Hanifah berarti hamba Allah yang ncenderung berbuat kebaikan dan taat kepada Allah.
3. Karena paling cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh guru dan teman-temannya dengan Abu hanifah, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti Tinta, jadi Abu Hanifah berarti Bapaknya Tinta.
Terlepas dari keseluruhan panggilan terhadap Abu Hanifah karena sesuai dengan tingkah laku, perbuatan, ucapan, amalan, dan ketekunannya serta cita-cita luhur yang dia miliki .
Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadits, sastra, nahwu, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara ilmu yang diminatinya adalah dibidang Teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fikih di Kuffah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fikih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat madrasah Kuffah, yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63H/682 M). Kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’i, lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman al-Asy’ary (wafat 120 H). Hammad Ibn Sulaiman adalah salah seorang imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan pakar fikih yang terkenal di Kuffah dari golongan Tabi’in. Dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fikih dan hadits.
Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fikih dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kuffah. Sepeninggal Hammad, majlis madrasah kuffah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fikih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai orang yang ulung dalam mengikuti kaidah qiyas yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum Islam. Sepeninggal gurunya (Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ary), ia pernah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai hal yang belum pernah didengar dari gurunya. Ketika gurunya datang dari musafir, ia meminta gurunya supaya memeriksa jawaban-jawaban yang telah disampaikan. Gurunya hanya menyetujui 40 dari 60 jawaban yang telah diberikan. Sejak itu ia berjanji tidak akan berpisah dengan gurunya sampai akhir hayatnya. Setelah gurunya meninggal dunia, ia menggantikan kedudukan gurunya, maka banyaklah para murid gurunya yang datang belajar padanya.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang memiliki pandangan luas dalam masalah fikih. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Saljuk, ‘Utsmani, Mughal.
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasa dan selalu memberi nasihat kepadanya antara lain adalah : Imam ‘Amir ibn Syahril al-Sya’by dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ary. Ia memperoleh qiro’at dan tajwid dari Idris ‘Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada perintah gurunya.

Imam Abu Hanifah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, antara lain adalah beliau ahli dalam bidang ilmu kalam, ilmu-ilmu Al Qur’an, ilmu hadits, menguasai bahasa Arab dan ahli dalam bidang fikih.
Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan, bahwa Imam Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar : Fiqhul Akbar, al-Alim wa al-Muta’lim, dan Musnad Fiqh Akbar, sebuah majalah ringkasan yang sangat terkenal. Disamping itu Imam Abu Hanifah juga membentuk badan yang terdiri dari tokoh-tokoh cendekiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini befungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan dan mengalihkan syari’at Islam ke dalam undang-undang.
Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Imam Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada waktu beliau masih hidup) belum dikodifikasi. Setelah beliau meninggal dunia, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang .
Adapun murid-murid dari Imam Abu Hanifah yang berjasa dalam mengkodifikasikan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah :
1. Abu Yusuf Ya’cub ibn Ibrahim al-Anshary (113-182 H).
2. Muhammad ibn Hasan al-Syaibany (132-189 H).
3. Zufar ibn Huzail ibn al-Kufy (110-158 H).
4. Al- Hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’iy (133-204 H).
Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikran Imam Abu Hanifah adalah Muhammad al-Syaibany yang  terkenal dengan al- Kutub al Sittah (enam kitab), yaitu :
1. Kitab al-Mabsuth
2. Kitab al-Ziyadat
3. Kitab al-Jami’ al-Shagir
4. Kitab al-Jami’ al-Kabir
5. Kitab al-Sair al-Shagir
6. Kitab al-Sair al-kabir
Disamping itu, muridnya yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy al-Qudhat di zaman Khilafah Harun al-Rasyid, menulis kitab “al-Kharraj” yang membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.
Dengan karya-karya tersebut Imam Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar diberbagai negara, seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Lebanon, Turkistan, Syiria, dan Mesir. Mazhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbasiyah merupakan mazhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada masa pemerintahan kerajaan Usmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Sekarang pengikut mazhab ini termasuk golongan mayoritas di samping mazhab Syafi’iyyah .
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat kritis dalam berfikir, ia selalu mengkritik pemerintahan dinasti Abbasiyah, mengkritik para hakim, dan para mufti dinasti Abbasiyyah. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Imam Abu Hanifah pernah diminta oleh Khalifah Al-Mansur untuk menjadi hakim di Pengadilan, tetapi beliau menolaknya sehingga beliau ditangkap, kemudian di penjara dan disiksa (dicambuk). Akibat siksaan di penjara itulah, kesehatan Abu Hanifah menurun hingga beliau wafat di dalam penjara tersebut. Ia meninggal dunia tahun 150 H. Jenazahnya diantar oleh lima puluh ribu penduduk Irak. Khalifah “terpaksa” menshalati Imam Abu Hanifah dan dengan penuh penyesalan kemudian ia berkata, “Siapakah yang dapat memaafkanku terhadap Abu Hanifah, baik ketika ia hidup maupun setelah meninggal.” Ia meninggal dunia seperti matinya orang-orang shiddiq dan para syuhada.

B. Metode Ijtihad dan Produk Ijtihad Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah menggunakan metode tersendiri dalam penggalian hukum yang berbeda jelas dengan tiga imam mazhab lain. Beliau menjelaskan kaidah ijtihadnya dengan ringkasan sebagai berikut :
“Aku (dalam menentukan hukum) selalu mendasarkan pada kitab Allah jika ada dalil didalamnya. Jika aku tidak menemukan dalil dalam kitab Allah, maka aku mencarinya dalam Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih dan masyhur dari orang-orang terpercaya (tsiqat). Jika aku tidak menemukan dalam kitab Allah, Sunnah Rasulullah, maka aku berpegang pada pendapat sahabat, aku bisa mengambil ungkapan siapa saja dari mereka. Ketika aku mentok dengan itu semua, aku tidak akan mengambil pendapat selain mereka. Jika Ibrahim, asy-Sya’bi, dan Ibn Musayyab berpendapat, maka aku tidak mau meneriman pendapat mereka dan aku akan melakukan ijtihad sendiri sebagaimana mereka telah melakukannya.” Demikianlah prinsip Imam Abu Hanifah dalam melakukan ijtihad .
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi.
Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah :
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman.
Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an, merinci yang masih bersifat umum (global). Siapa yang tidak mau berpegang terhadap as-Sunnah tersebut berarti orang tersebut tidak mengakui kebenaran risalah Allah yang beliau (Rasulullah) sampaikan kepada ummatnya.
3. Aqwalush Shahabah (Perkataan Sabahat)
Para Shahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah, mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an (walaupun tidak semua Shahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah SAW, sehingga mereka tahu bagaimana kaitannya Hadits Nabi dengan ayat-ayat Qur’an yang diturunkan.
Perkataan Sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Imam Abu Hanifah, karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan agama mereka lebih dekat dengan kebenaran tersebut. Oleh sebab itu pernyataan hukum mereka dapat dikutip untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ketetapan Shahabat ada dua bentuk, yaitu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam bentuk Ijma’ dan ketentuan hukum dalam bentuk fatwa.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ditentukan lewat ijma’ mengikat, sedangkan yang ditetapkan lewat fatwa tidak mengikat.
Kemudian Imam Hanafi juga berpendapat bahwa ijma’ itu masih dapat dilakukan dalam konteks penetapan hukum untuk persoalan hukum kontemporer yang dihadapi para mujtahid, sejauh ulama itu dapat menyatakan pendapatnya secara bersama-sama.
4. Al-Qiyas
Imam Hanafi berpegang kepada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Qur’an, Sunnah atau perktaan Sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya.
5. Al-Istihsan
Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari Qiyas. Penggunaan Ra’yu lebih menonjol lagi. Istihsan menurut bahasa berarti “menganggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut ulama Ushul Fiqh, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas ‘illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar ‘illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya.
Mengenai Istihsan ini akan diuraikan sedikit lebih luas, karena menurut pendapat sebagian Ulama, Imam Hanafi terlalu maju melangkah ke depan dalam menetapkan hukum Islam, dan dikenal bahwa beliau itu disebut ahlur Ra’yu. Dibawah ini dikemukakan contoh-contoh Istihsan  :
a. Menurut mazhab Hanafi, bila seorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka yang termasuk diwakafkannya itu hak pengairan dan hak membuat saluran air di atas tanah itu. Hal ini ditetapkan berdasarkan istihsan. Berdasarkan Qiyas Jaly (jelas ‘illatnya), hak-hak tersebut tidak diperoleh, karena di Qiyaskan kepada jual beli.
Apabila wakaf di Qiyaskan kepada jual beli, maka yang terpenting adalah pemindahan hak milik itu. Sedangkan menurut istihsan, hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan wakaf itu kepada sewa menyewa. Dalam soal sewa menyewa, yang terpenting adalah pemindahan hak untuk memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewanya. Demikian pula halnya dengan wakaf, yang penting agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang tanah pertanian hanya dapat dimanfaatkan, jika memperoleh pengairan. Jika wakaf itu diqiyaskan kepada jual beli, maka tujuan wakaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan adalah hak milik. Supya tujuan tercapai, perlu dicarikan dasar yang lain, yaitu sewa menyewa. Kedua persoalan ini ada persamaan ‘illatnya, yaitu mengutamakan manfaat barang tersebut, tetapi qiyasnya adalah qiyas khalfi (illatnya samar). Karena ada suatu kepentingan, maka dilakukan pemindahan dari qiyas jaly kepada qiyas khalfi yang disebut dengan Istihsan.
b. Menurut mazhab Hanafi, sisa minuman burung-burung buas, seperti gagak, rajawali, dan elang, adalah suci berdasarkan Istihsan, dan najis berdasarkan Qiyas.
Sisa minuman binatang buas, sepeti singa, serigala dan harimau adalah haram, karena dagingnya haram. Burung-burung buas dagingnya haram, karena diqiyaskan kepada binatang-binatang buas dan karena itu minumannya juga haram.
Berdasarkan Istihsan, burung buas meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang berasal dari dagingnya tidak bercampur dengan air sisa minumnya, karena ia minum dengan paruhnya dan paruhnya itu sebagian dari tulangnya, sedangkan tulangnya suci. Oleh sebab itu sisa minumannya tetap suci.
Berbeda dengan binatang buas yang minum dengan lidahnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa air minumnya karena itu ia najis.
Kedua-dua jenis binatang tadi sama-sama haram, karena sama-sama buas, tetapi cara minumnya yang berbeda sehingga yang satu bercampur dengan air sisa minumnya dan yang lain tidak bercampur.
6. ‘Urf
Pendirian beliau ialah, mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, atau Qiyas dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas), beliau melakukannya atas dasar Istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan Istihsan, beliau kembali kepada ‘Urf  manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau memperhatikan ‘urf manusia apabila tidak ada Nash Kitab, nash Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istihsan.
Urf menurut bahasa berarti apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan.
Contoh ‘Urf ialah kebiasaan dalam perkataan, perkataan Walad yang biasa diartikan untuk anak lki-laki, bukan untuk anak perempuan. Contoh kebiasaan dalam perbuatan adalah jual beli dengan jalan serah terima, tanpa menggunakan ijab kabul.
Prinsip ‘Urf ini bukan saja diriwayatkan dari Imam hanafi bahkan juga diriwayatkan dari Imam-Imam lain dalam mazhabnya. Misalnya al-Birii dalam Syarh al-Asybah wan Nazdair berkata : “Sesuatu yang tetap dengan ‘Urf dipandang tetap dengan dalil syara’”.
Dalam al-Mabsuth diterangkan : “sesuatu yang tetap dengan ‘urf sama dengan yang tetap dengan nash”. Maksudnya ialah ‘urf dipandang sebagai dalil selama tidak ada nash.
Para Ulama menetapkan ‘urf sebagai dasar tasyri’, manakala tidak terdapat dalil tasyri’. Akan tetapi kadang meninggalkannya manakala ‘urf itu menyalahi nash seperti menyuguhkan minuman keras pada pesta besar. Hal ini jelas ditolak karena bertentangan dengan nash.
Demikian ketentuan ‘urf dalam fiqh Imam Abu Hanifah.
C. Karakteristik Fiqh Imam Hanafi.
Setelah membahas Biografi, Cara Berijtihad dan Produk Ijtihad dari Imam Abu Hanifah, maka pada bagian ini akan dijelaskan corak atau karakteristik fiqh atau pemikiran Fiqh dari Imam Abu Hanifah, karena antara metode Ijtihad dan hasil rumusan Fiqh tentu terdapat suatu timbal balik.
Imam Abu Hanifah sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah seorang ahli fikih dan pendiri mazhab hanafiyah yang sangat terkenal dengan sebutan ahlur Ra’yu, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran-pemikiran beliau atau fiqh beliau sebagai hasil dari ijtihad beliau.
Fiqh Imam Abu Hanifah mempunyai suatu corak atau karakteristik yang khas yang berbeda dengan pemikiran-pemikiran fiqh dari mazhab-mazhab lain. Karakteristik fiqh yang dianggap sangat menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah adalah lebih mengedepankan kepada ra’yu apabila hukum masalah tersebut tidak dapat ditemukan didalam al-Qur’an, as-Sunnah, Perkataan Sahabat, Ijma’ dan Qiyas. Fiqh beliau juga sangat terkenal dengan Istihsan yang mana istihsan tersebut tidak digunakan pada mazhab-mazhab lain.
Berikut ini kembali dicontohkan tentang pemikiran atau hasil ijtihad dari Imam Abu Hanifah agar memperjelas pemahaman tentang konsep brfikir beliau dan karakteristik fiqh beliau :
Bahwa perempuan itu boleh menjadi hakim dipengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana; ia hanya dibenarkan menjadi saksi perdata. Karena itu, menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani masalah perdata.
Demikianlah sedikit contoh dari fiqh Hanafiah hasil pemikiran Imam Abu Hanifah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Penerbit Rosda.
2. Hasan, Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
3. Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
4. Fayyadh, Thaha Jabir. 2001. Etika Berbeda Pendapat. Bandung: Pustaka Hidayah.
5. Ghazali, Bahri dkk. 1992. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
6. Na’im, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Sebuah Pengantar). Yogyakarta: Penerbit Teras.
7. Matdawam, Noor. 1985. Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya). Yogyakarta: Yayasan Bina Karier.
8. Abdurrahman. 1991. Perbandingan Mazhab. Bandung: Sinar Baru.
9. Zein, Fuad dkk. 2006. Studi Perbandingan Mazhab. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
10. Fakhruddin. 2009. Intellectual Network (Sejarah dan Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih). Malang: UIN Malang Press.






0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.