Advertisements

Minggu, 12 April 2015

Wasiat Wajibah dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Islam adalah agama yang sangat komprehensif. Selain mengatur tentang kewarisan, di dalam Islam masalah wasiat juga diatur. Walaupun demikian pengaturan mengenai kewarisan dan wasiat tidak semua disebutkan secara eksplisit di dalam kitab pegangan umat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga dalam menghadapi fenomena yang terus berkembang, Para Ulama menggali hukum dari kedua sumber tersebut sehingga menjadi sebuah prduk baru berupa fiqh. Fiqh yang dihasilkan sebagai sebuah interpretasi terhadap nash Al-Qur’an dan Al-Hadits inipun berkembang dan mengalami perbedaan-perbedaan antara fiqh satu dengan fiqh lainnya. Setelah fiqh kewarisan terbentuk ternyata problema-problema tersebut juga masih saja menghadang. Diantara problema yang ada di dalam fiqh mawarits atau hukum kewarisan Islam adalah masalah wasiat bagi cucu-cucu yang terhijab oleh ahli warits lainnya sehingga para cucu tersebut tidak mendapatkan harta warisan (tirkah), padahal ayah dari para cucu tersebut telah tiada sebelum pewaris meninggal dan mungkin nafkah yang diperoleh anak yatim tersebut tidak maksimal lantaran hanya mengandalkan dari sang ibu, hal inilah yang kemudian menggulirkan idealisme dari sebagian kaum muslimin dan mempertanyakan letak keadilan dari fiqh mawarits itu sendiri. Sehingga problem ini menimbulkan banyak sekali respon para Ulama dalam menjawab permasalahan ini diantaranya adalah adanya sebuah wasiat yang bersifat wajib (wasiat wajibah). Fenomena ini juga menggelayut dibenak kaum Muslimin di Indonesia, sebagai negara dengan Mayoritas Muslim terbesar di dunia, kaum Muslim di Indonesia merasa perlu untuk memecahkan permasalahan ini dengan mencari tendensi hukumnya di dalam sistem hukumnya sendiri, sehingga apabila fenomena seperti diatas muncul dapat disikapi dengan arif dan adil. Atas dasar latar bekalang tersebut makalah ini disusun selain sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah yang disebut sebagai wasiat dan wasiat wajibah didalam terminologi fiqh dan Undang-Undang ?
2.      Bagaimanakah wasiat wajibah diatur di dalam Fiqh Klasik ?
3.      Bagaimanakah wasiat wajibah diatur di dalam perundang-undangan Republik Indonesia ?

C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Mengetahui apa yang disebut sebagai wasiat dan wasiat wajibah.
2.      Mengetahui wasiat wajibah yang diatur di dalam fiqh klasik
3.      Mengetahui wasiat wajibah yang diatur di dalam perundang-undangan Republik Indonesia.

D.    Metode Penulisan.
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka.









PEMBAHASAN
A.    Wasiat dan Wasiat Wajibah
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah prang yang berwasiat meninggal dunia.[1]
Sedangkan menurut KHI Buku II Bab I Pasal 171 huruf f disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meniggal dunia.
Dasar hukum wasiat yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 180 yang berbunyi
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”[2]
Adapun rukun dan syarat-syarat wasiat,yaitu diantaranya :
1.      Orang yang berwasiat (mushi) dengan syarat :
a.       Berakal sehat
b.      Baligh
c.       Atas kehendak sendiri
d.      Harta yang sah/miliknya
2.      Orang yang menerima wasiat (mushalahu) dengan syarat :
a.       Jelas identitasnya
b.      Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
c.       Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh pemberi wasiat
3.      Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi) dengan syarat :
a.       Milik pemberi wasiat
b.      Sudah berwujud
c.       Dapat dimiliki
d.      Tidak melebihi 1/3
4.      Sighat wasiat dengan syarat :
Kalimat yang dapat member pengertian wasiat, dan disaksikan oleh saksi yang adil atau pejabat (notaris)
Adapun wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara yang mempunyai tugas untuk memaksa atau member putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Dikatakan wasiat wajibah, disebabkan karena dua hal, yaitu :
1.      Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat
2.         Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.[3]
B.     Wasiat Wajibah dalam Fiqih.
Wasiat wajibah dalam fiqh merupakan fenomena yang masih menjadi perdebatan. Maksudnya tidak semua fuqaha dalam ilmu fiqih mengakui adanya wasiat wajibah. Hanya beberapa saja yang mengakui bahwa wasiat wajibah memang ada dan mempunyai dasar hukum di dalam Islam. beberapa fuqaha yang mengakuinya adalah beberapa fuqaha golongan tabi’in, serta beberapa imam fiqh dan imam hadits seperti Sa’id bin Musayyab, Dhahhak, Thaus, Al Hasanul Bisri, Ahmad bin Hanbal, Daud bin Ali, Ishaq bin Rawa’ih, Ibnu Jarir, Ibnu Hazm, serta beberapa fuqaha lainnya. Mereka berpendapat bahwa memberikan wasiat kepada anggota keluarga/kerabat yang tidak mendapat harta peninggalan sebenarnya telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi “”. Namun ayat tersebut bagi sebagian Ulama lainnya masih merupakan ayat yang diperdebatkan.  Karena menurut sebagian Ulama, ayat tersebut sebenarnya telah dihapuskan atau mansukh dengan turunnya ayat mawarits. Selain itu menurut sebagian Ulama yang berpendapat bahwa wasiyat wajibah tidak ada dan tidak mempunyai dasar hukum, bahwa ayat yang dikemukakan diatas telah dimansukh oleh Sabda Nabi SAW yang berbunyi “laa washiyyata lii waritsin” yang berarti tidak ada washiyat bagi ahli warits. Walaupun menurut sebagian Ulama hadits itu ahad, tetapi hadits tersebut mempunyai nilai mutawattir, yaitu karena hadits tersebut sangat berkembang di masyarakat bahkan diterima dikalangan para fuqaha.
Walaupun terdapat pertentangan, sebagian Ulama yang mengatakan tentang adanya wasiyat wajibah, dalam hal ini Abu Muslim Al-Ashabahani mengatakan bahwa ayat tersebut tidaklah mansukh dengan ayat mawarits karena tidak mengandung pertentangan dengan ayat mawarits sehingga ayat tersebut tetap berlaku sampai sekarang bagi kerabat yang tidak mendapatkan harta waris karena ada penghalang ataupun karena ada orang yang lebih utama, sehingga wajiblah dibuat washiat wajibah dengan dasar ayat washiyat karena ayat tersebut tetap masih berlaku menurut mereka. Bahkan menurut Ibnu Hazm apabila orang yang meninggal tersebut tidak meninggalkan washiyyat kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan harta peninggalan, maka Hakim wajib untuk berlaku sebagai muwarits untuk memberikan sebagian harta peninggalan itu kepada kerabat-kerabat yang terhalang mewarisi sebagai suatu wasiyat yang wajib. Wasiat Wajibah ini pada dasarnya dapat diberikan kepada cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau nenek.
Pelaksanaan wasiyat wajibah hendaknya didahulukan daripada pembagian harta peninggalan ataupun wasiyat-wasiyat yang diwasiyatkan oleh pewaris, selain itu wasiyat wajibah juga harus didahulukan daripada wasiyat-wasiyat yang sifatnya ikhtiariyah. Apabila dalam proses pembagian harta, wasiyat-wasiyat tersebut mencapai lebih dari sepertiga sedangkan para ahli waris tidak menghendaki yang demikian, maka harta yang sepertiga digunakan untuk wasiyat wajibah, dan orang-orang yang mendapat wasiyat ikhtiariyah, tetapi jika jumlah wasiyat wajibah kurang dari sepertiga maka sisa pembagian setelah wasiyat wajibah diberikan kepada orang-orang yang menerima wasiyat ikhtiariyah. Menurut mazhab Ibnu hazm, wasiyat wajibah itu kadarnya boleh seperti yang diterima oleh ayahnya apabila ia tidak meninggal, boleh kurang, boleh lebih atau boleh pula ditentukan sendiri oleh orang yang mewasiyatkan tersebut. tetapi karena wasiyat wajibah ini merupakan suatu wasiyat bukan mawarits, maka ukuran maksimal yang dapat diterima penerima wasiyat wajibah hanya sepertiga dari harta yang ditinggalkan[4].
Dalam ilmu fiqih, wasiat wajibah diberika dengan memandang kriteria tertentu, sehingga tidak semua ahli waris dapat diberikan sebuah wasiat yang bersifat wajib ini. Syarat-syaratnya diantaranya adalah :
1.      Anak yang diberikan wasiat wajibah tersebut bukan termasuk ahli waris. Apabila dia termasuk ahli waris (tidak mahjub) dan mendapatkan harta warisan walaupun sedikit, maka dia tidak wajib mendapatkan wasiat.
2.      Kakek atau nenek yang meninggal, belum membuatkan cucu atau anak yang seharusnya mendapat wasiat wajibah tersebut dengan jalan yang lain (misalnya dengan cara hibah, dll)[5].
C.     Wasiat Wajibah di dalam Kompilasi Hukum Islam.
Di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah mempunyai aspek yang lebih luas, tidak hanya masalah cucu sekandung tetapi juga mengenai hubungan anak angkat. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :
1)      Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2)      Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Menurut pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta dianggap telah meninggalkan wasiat maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer. Alqur’an menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian darah. Sedangkan di dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Dalam hubungan pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran dan ketidakakuran antara anak dengan orang tua angkat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia.[6]
Secara tersirat isi pasal tersebut yakni :
1.           Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak angkat.
2.           Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh Negara.
3.           Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (satu pertiga) dari harta peninggalan pewaris.
Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Hakim yang yang menangani kewarisan Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang. Dalam memutuskan perkara wasiat wajibah, secara para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 209 seperti yang tersebut diatas.

PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Pesan tersebut mempunyai rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu agar dapat dikatakan sebagai sebuah wasiat. Wasiat dalam Islam mempunyai tendensi nash dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180. Salah satu dari macam-macam wasiat, ada yang dinamakan wasiat wajibah (wasiat yang diwajibkan), maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara yang mempunyai tugas untuk memaksa atau member putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Seperti wasiat ikhtiariyah (wasiat biasa) wasiat wajibah juga mempunyai syarat-syarat tertentu agar dapat dikatakan sebagai wasiat wajibah. Dalam disiplin ilmu fiqh sendiri, wasiat wajibah merupakan salah satu hal yg masih menjadi ikhtilaf para Fuqaha. Fuqaha yang membolehkan adanya wasiat wajibah mempunyai tendensi ayat Al-Qur’an. Sedangkan Fuqaha yang melarang mengatakan ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh Fuqaha yang membolehkan wasiat wajibah tersebut adalah mansukh oleh Hadits.
Masyarakat Muslim Indonesia, sebagai masyarakat Muslim terbesar juga mempunyai pedoman wasiyat dalam sistem hukumnya sendiri, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, hukum-hukum Islam dihimpun, termasuk juga masalah kewarisan dan wasiyat. Wasiyat Wajibah dalam KHI diatur secara luas, bahkan meliputi kewarisan atau wasiat anak angkat. Dalam KHI wasiat wajibah diatur secara implisit dalam Pasal 208 ayat 1 dan ayat 2.





DAFTAR PUSTAKA


1.      Asyhari dkk. Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: El-Hamra Press. 2003.

2.      Mardani. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.

3.      Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris. Bandung : CV Pustaka Media. 1999.

4.      Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT Ma’arif. 1975.

5.      Shiddiq, Abdullah. Hukum Waris Islam. Jakarta: Penerbit Widjaya. 1984.

6.      Shiddieqy, Hasbi Ash-. Fiqhul Mawaris. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.

Referensi Lain :
1.      Arpani. Wasiat Wajibah dan Penerapannya (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam). http://www.pta-samarinda.net/pdf/Wasiat%20Wajibah%20dan%20Penerapannya.pdf. Diakses pada tanggal 26 Maret 2015.





[1] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 237.
[2] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 237-238.
[3] Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Hukum Islam di Indonesia, Cet. 2, (Yogyakarta : Elhamra Press, 2003), hlm. 207.
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Hlm. 291-294.
[5] Ibid., hlm 295.
[6] Artikel Wasiat Wajibah dan Penerapannya (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam) oleh Drs. Arpani, S.H (http://www.pta-samarinda.net/pdf/Wasiat%20Wajibah%20dan%20Penerapannya.pdf). Diakses pada tanggal 26 Maret 2015.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.