Advertisements

Senin, 13 April 2015

Unsur, Jenis dan Subyek Tindak Pidana

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya.Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak beraturan yang menyebabkan kehancuran.
Oleh karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai dengan saran tujuan KUHP nasional“Untuk mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa indonesia, yaitu dengan jalan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu..”Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya kita tidak melakukan hal tersebut.
Bila kita ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas itulah makalah ini disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Pidana.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana itu ?
2.      Apa sajakah unsur-unsur tindak pidana itu ?
3.      Ada berapakah jenis-jenis dari tindak pidana ?
4.      Apa dan siapakah yang dimaksud sebagai subyek tindak pidana ?
C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana.
2.      Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana.
4.      Untuk mengetahui subyek tindak pidana.


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tindak Pidana.
 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana[1]. Istilah  tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya : Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan lain-lain. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang.
Disamping hal itu terdapat pula perbuatan seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya ia, ia telah melakukan tindak pidana. Timbul pertanyaan, dimanakah kita bisa membuktikan ia telah melakukan tindak pidana, hal ini bisa kita lihat dari :
1.      Dari undang-undang.
Dimana undang-undang mewajibkan ia berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
-          Pasal 522 KUHP, dimana undang-undang mewajibkan ia untuk menjadi saksi.
-          Pasal 164 KUHP, dimana undang-undang mewajibkan ia untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan.
2.      Berdasarkan Jabatan.
Dimana jabatan seseorang mewajibkan ia untuk berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh : penjaga wesel kereta api.
3.      Berdasarkan perjanjian
Dimana berdasarkan dimana kalau ada perjanjian antara kedua belah pihak ia harus berbuat ia tidak berbuat, ia telah melakukan tindak pidana.
Didalam perundang-undangan negara kita dapat pula diumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga strafbaar feit, misalnya :
1.      Peristiwa Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1).
2.      Perbuatan Pidana (Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1951, undang-undang mengenai : Tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b.
3.      Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonantie tijdelijke byzondere straf bepalingan S 1948-17 dan Undang-undang RI (dahulu) No. 8 Tahun 1948 pasal 3.
4.      Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman ( Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang penyelesaian perburuhan, pasal 19, 21, 22).
5.      Tindak Pidana (Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi pasal 1.)
Menurut apa yang disebutkan diatas, Prof. Soedarto, SH berpendapat bahwa, pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai “Sosiologische gelding[2].
B.     Unsur-Unsur Tindak Pidana.

1.      Unsur Undang-Undang Dan Yang Di Luar Undang-Undang
Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat, perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian rumusan pengertian “Perbuatan Pidana” menjadi jelas suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.
Perbuatan manusia, bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik, semua unsur rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi.
Bersifat melawan hukum, suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).
Dapat dicela, suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya.
2.      Sifat Melawan Hukum Atau Kesalahan Sebagai Unsur Undang-Undang
Lain halnya kalau perbuatan yang ditetapkan oleh ketentuan pidana biasanya sah dan tidak sahnya merupakan pengkecualian. Hanya perkecualian itulah yang patut dipidana. Sebagai contoh adalah perusakan. Sengaja merusak barang milik orang lain terjadi hamper tiap hari tanpa bersifat melawan hukum. Misalnya, pembokaran rumah. Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum (jadi yang tertulis) sebagai unsure yang tertulis. Tanpa rumusan ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Juga sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik kulpa. Hanya istilah “dapat dicela” itu sendiri tidak dijumpai dalam rumusan delik. Hoge Raad memutuskan bahwa sifat dapat dicela merupakan bagian dari pengertian kesalahan kulpa menurut undang-undang (Putusan tentang Perawat, 1963). Kalau yang dituduhkan suatu delik kulpa, maka harus dibuktikan bahwa pelaku tidak hanya kurang berhati-hati, tetapi juga dapat dicela.
3.      Unsur Tertulis Dari Rumusan Delik Atau Alasan Penghapus Pidana
Dalam suatu ketentuan pidana, pembentuk undang-undang tidak selalu merumuskan perbuatan yang dapat dipidana saja. Kadang-kadang ditambahkan dengan penyebutan keadaan dimana melakukan perbuatan itu tidak dipidana. Jadi pembentuk undang-undang menambahkan alasan penghapusan pidana pada rumusan delik. Alasan penghapusan pidana ini hanya dapat digunakan kalau perbuatan itu telah dilakukan dan kalau terjadi keadaan khusus yang dicantumkan dalam alasan penghapusan pidana tersebut. Contoh Pasal 310 KUHP : “tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”. (Dalam KUHP Belanda sejak tahun  1978 dicantumkan dalam Pasal 261 ayat 3 : “tidak merupakan pencemaran tertulis jika si pembuat terpaksa melakukan perbuatannya untuk membela diri atau dengan itikad baik dapat berpendapat bahwa yang dituduhkan benar dan pembuatnya adalah demi kepentingan umum”).[3]
C.     Jenis-Jenis Tindak Pidana.
Setelah selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya, marilah kini kita melihat kepada beberapa pembagian yang terpenting dari tindak pidana, baik yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang berusaha untuk menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut rechtsdelicten dan apa yang mereka sebut wetsdelicten.
Sesuai dengan penjelasannya di dalam Memorie van Toelichting, pembagian di atas itu telah didasarkan pada sebuah asas yang berbunyi :
a.       Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas untuk dihukum, walaupun tindakan-tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Akan tetapi juga terdapat sejumlah tindakan-tindakan, dimana orang pada umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, yaitu setelah tindakan-tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Yang  dimaksud dengan “rechtsdelicten” adalah delik-delik seperti yang dimaksud di dalam huruf a di atas, yakni karena delik-delik semacam itu adalah bertentangan dengan hukum yang tertulis, sedang yang dimaksud dengan “wetsdelicten”  itu adalah delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang pantas untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan undang-undang.
Seperti yang kita lihat di atas, pembagian dari tindak pidana ke dalam dua jenis tindakan melawan hukum itu bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, demikian halnya dengan pembagian yang dewasa ini kita kenal sebagai pembagian di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita trlah disebut sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran (overtredingen).[4]
Di samping jenis delik/tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP, ilmu pengetahuan hukum pidanapun mengenal beberapa jenis delik atau tindak pidana antara lain :
1.      - Delik Formil (formele delicten)
- Delik Materiil (materiele delicten)
Yang  dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah “voltooid” atau penuh/selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan undang-undang.
Contohnya :
-          Pasal 242 KUHP : Sumpah Palsu, dalam hal ini yang dilarang adalah memberikan keterangan sumpah palsu.
-          Pasal 263 KUHP : Pemalsuan surat.
-          Pasal 362 KUHP : Pencurian yang melarang mengambil barang orang lain.
Yang dimaksud dengan delik materiil adalah delik dianggap telah penuh atau selesai (voltocid), apabila perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Contoh :
-          Pasal 338 KUHP : Pembunuhan
Dalam perbuatan  ini yang dilarang adalah menimbulkan matinya orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan tegas bagaimana sifat perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain. Perbuatan ini dapat berupa : memukul, menikam dengan pisau, menembak, meracun dan sebagainya. Akan tetapi yang dilarang dalam delik bukan perbuatannya tetapi akibat dari perbuatan itu yaitu matinya orang lain.
2.      - Delik komisionis (commissie delicten)
- Delik Ommisionis (ommissie delicten)
- Oneigenlijke commisie delicten
Yang  dimaksud dengan delik komisionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang terdiri dari perbuatan-perbuatan yang terjadi karena melakukan suatu perbuatan. Contoh delik ini dapat berupa :
a.       Delik Formil : pasal 362 KUHP tentang pencurian
b.      Delik Materil : Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Yang dimaksud dengan delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran tehadap suatu keharusan yang terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan, jadi dari suatu kelalaian. Contoh pasal 164 KUHP.
Yang dimaksud dengan Oneigenlijke commisie delicten adalah pada umumnya delik dilakukan dengan suatu perbuatan akan tetapi terdapat juga suatu delik yang dilakukan tidak dengan melakukan suatu perbuatan. Contoh adalah sebagai berikut :
-          Seorang penjaga palang pintu kereta api tertidur dan lupa tidak menutup palang pintu jalan pada waktu kereta lewat, akibatnya terjadi kecelakaan.
3.      - Delik Sederhana (eenvoudige delicten)
- Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten)
- Geprevelegeerde delicten.
Yang dimaksud dengan delik sederhana adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya. Contohnya : Pasal 362 KUHP tentang pencurian yang unsur-unsurnya adalah sesuatu barang, barang harus sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, mengambil, dan secara melawan hukum.
Delik berkualifikasi adalah delik yang terdiri atas delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan unsur-unsur lain, sehingga mengakibatkan ancaman pidananya diperberat. Contohnya adalah : pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 363 KUHP tentang pencurian berat, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan Geprevelegeerde delicten adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan unsur-unsur lain yang mengakibatkan ancaman pidananya diperingan. Contohnya adalah dalam pasal 341 KUHP.
4.      - Delik Aduan (klaschtdelicten).
- Delik Biasa (gewonedelicten).
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Contoh : pasal 248 KUHP.
Delik biasa adalah delik yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan yang bersangkutan, cukup apabila ia telah melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang.
5.      - Delik Umum (politike delicten)
- Delik Khusus (delicten propia)
Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh delik khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
6.      - Delik Politik (politike delicten)
- Delik Komune (commune delicten)
Yang dimaksud dengan delik politik adalah delik yang ditujukan terhadap keamanan negara atau keamanan kepala negara. Contoh : pasal 104 dan 106 KUHP. Sedang yang dimaksud dengan delik komune adalah delik yang tidak ditujukan terhadap keamanan negara atau keselamatan kepala negara.
7.      - Delik berdiri sendiri (zelfstande delicten)
- Delik lanjutan (voorgrezette delicten)
Delik berdiri sendiri adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan, sedangkan yang dimaksud dengan delik lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat, sehingga dianggap kelanjutan satu sama lain. Contoh : dalam pasal 64 KUHP.
8.      - Delik Tunggal (enkelvoudige delicten)
- Delik Bersusun (samengestelde delicten)
Delik tunggal adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan delik bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.
9.      – delik yang berjalan selesai (aplopende delicten)
- Delik yang berlangsung (voordurentde delicten)
Delik yang berjalan selesai adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan dan selesai. Contohnya pasal 338 KUHP. Sedangkan delik yang berlangsung adalah delik yang melangsungkan perbuatan yang dilarang. Contoh : pasal 333 KUHP.[5]

D.    Subyek Tindak Pidana.
Di dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa yang menjadi subyek hukum pidana tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan. Demikianlah pada abad pertengahan (1571) pernah dipidana seekor banteng, karena membunuh seorang wanita, hal tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi.
Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Jadi yang dimaksud subyek tindak pidana adalah manusia, sedangkan hewan tidak merupakan subyek tindak pidana.
Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subyek tindak pidana ini dapat kita simpulkan dari :
1.      Rumusan delik dalam undang-undang biasanya dimulai dengan kata-kata : “ barang siapa yang .... “. Kata barang siapa ini tidak dapat diartikan lain daripada manusia.
2.      Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya keslahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggung jawabkan itu adalah manusia.
3.      Pengertian kesalahan yang dapat berupa Dolus dan Culpa itu adalah merupakan sikap batin daripada manusia.
4.      Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur terutama didalam pasal 44, 45. 49 KUHP yang antara lain mensyaratkan kejiwaan dari hukum.
Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum.
Dalam KUHP ada suatu ketentuan yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah seperti yang diatur dalam pasal 59 KUHP. Pasal tersebut berbunyi “ dalam hal-hal karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurusnya, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana”.
Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (koperasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam suatu koperasi. Seorang dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.
Dalam KUHP juga ada pasal lain, yaitu pasal 169 : ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang, dan juga dalam pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Namun ajaran tersebut telah ditinggalkan, dalam hukum positif Indonesia misalnya dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 tersebut dapat kita ketahui bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Selain itu dalam Undang-Undang No. 11 Pnps 1963 jo UU No. 5 Tahun 1969 lampiran II a No. 9 pasal 17 ayat 1 menyebutkan : jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan “terhadapnya” dan seterusnya ..... ayat 3 nya berbunyi hampir sama seperti tersebut diatas.
Dalam hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda ternyata pada akhirnya manusia-manusia pada perseorangan atau anggota-anggota badan hukum itu yang dikurangi hak miliknya yang berupa uang saham/andel dalam badan hukum itu. Demikian juga misalnya suatu perserikatan orang dibubarkan, pada akhirnya manusia-manusia anggota perserikatan itu dikurangi atau dihapuskan hak berkumpulnya dalam perserikatan tersebut.
Namun demikian penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda).
Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :
a.       Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.      Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan (pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan, terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.


PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Istilah  tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang. Menurut Prof. Soedarto, SH, beliau berpendapat bahwa, pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai “Sosiologische gelding”.
Unsur-Unsur Tindak Pidana terdiri dari unsur Undang-Undang Dan Yang Di Luar Undang-Undang, mempunyai Sifat Melawan Hukum Atau Kesalahan Sebagai Unsur Undang-Undang, dan Unsur Tertulis Dari Rumusan Delik Atau Alasan Penghapus Pidana.
Jenis tindak pidana ada beberapa macam diantaranya adalah Delik Formil (formele delicten), Delik Materiil (materiele delicten), Delik komisionis (commissie delicten), Delik Ommisionis (ommissie delicten), Oneigenlijke commisie delicten, Delik Sederhana (eenvoudige delicten), Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten), Geprevelegeerde delicten. Delik Aduan (klaschtdelicten), Delik Biasa (gewonedelicten), Delik Umum (politike delicten), Delik Khusus (delicten propia), Delik Politik (politike delicten), Delik Komune (commune delicten), Delik berdiri sendiri (zelfstande delicten), Delik lanjutan (voorgrezette delicten), Delik Tunggal (enkelvoudige delicten), Delik Bersusun (samengestelde delicten), delik yang berjalan selesai (aplopende delicten), Delik yang berlangsung (voordurentde delicten)
Selain mempunyai unsur-unsur, dan jenis-jenis, tindak pidana juga mempunyai subjek, yaitu pelaku, siapakah subjek tindak pidana ? subjek tindak pidana adalah jelas manusia, tetapi pada zaman dahulu selain manusia juga pernah pula hewan menjadi subyek hukum. Hal ini terjadi pada abad pertengahan, yaitu sekitar tahun 1571. Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum. Penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda). Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :

a.       Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.      Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan (pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan, terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Schaffmeister. 1995. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
2.      Cansil dan Cristhine Cansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.
3.      Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
4.      Prodjodikoro,Wirjono. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
5.      Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
6.      Prasetyo, Teguh. 2005. Hukum Pidana Materiil Jilid I. Yogyakarta: Kurnia Alam.
7.      Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
8.      Lamintang, PAF. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
9.      Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Grafindo Persda.




[1]  Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 71.
[2] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 75-76.
[3] Schaffmeister, Keijzer, Sutoris, Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1995) h. 26-31
[4] Drs. PAF Lamintang, SH, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997). Hlm. 210.
[5] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 87-92.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.