Unsur, Jenis dan Subyek Tindak Pidana
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Kehidupan
manusia tidak pernah lepas dari persinggungan atau interaksi antar sesama.
Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia
lainnya.Sudah merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga
apabila sifat tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah
ketidak beraturan yang menyebabkan kehancuran.
Oleh
karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban
satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai
dengan saran tujuan KUHP nasional“Untuk mencegah penghambatan atau
penghalang-halangan datangnya masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa
indonesia, yaitu dengan jalan penentuan perbuatan-perbuatan manakah yang pantang
dan tidak boleh dilakukan, serta pidana apakah yang diancamkan kepada mereka
yang melanggar larangan-larangan itu..”Perbuatan pidana merupakan perbuatan
yang merugikan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya kita tidak melakukan hal
tersebut.
Bila kita ingin
menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga
dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Atas
dasar masalah yang diuraikan diatas itulah makalah ini disusun, disamping itu
adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Pidana.
B.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan tindak
pidana itu ?
2.
Apa sajakah unsur-unsur tindak pidana itu
?
3.
Ada berapakah jenis-jenis dari tindak
pidana ?
4. Apa
dan siapakah yang dimaksud sebagai subyek tindak pidana ?
C.
Tujuan Penulisan.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan tindak pidana.
2.
Untuk mengetahui unsur-unsur tindak
pidana.
3.
Untuk mengetahui jenis-jenis tindak
pidana.
4. Untuk
mengetahui subyek tindak pidana.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tindak Pidana.
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan
perkataan Strafbaarfeit untuk
menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana[1].
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan
dari Strafbaarfeit adalah
diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Istilah ini
banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya :
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan
lain-lain. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala
setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan
pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang.
Disamping
hal itu terdapat pula perbuatan seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi
dengan tidak berbuatnya ia, ia telah melakukan tindak pidana. Timbul
pertanyaan, dimanakah kita bisa membuktikan ia telah melakukan tindak pidana,
hal ini bisa kita lihat dari :
1. Dari
undang-undang.
Dimana
undang-undang mewajibkan ia berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
-
Pasal 522 KUHP, dimana
undang-undang mewajibkan ia untuk menjadi saksi.
-
Pasal 164 KUHP, dimana
undang-undang mewajibkan ia untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila
akan timbul kejahatan.
2. Berdasarkan
Jabatan.
Dimana
jabatan seseorang mewajibkan ia untuk berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
penjaga wesel kereta api.
3. Berdasarkan
perjanjian
Dimana
berdasarkan dimana kalau ada perjanjian antara kedua belah pihak ia harus
berbuat ia tidak berbuat, ia telah melakukan tindak pidana.
Didalam
perundang-undangan negara kita dapat pula diumpai istilah-istilah lain yang
maksudnya juga strafbaar feit,
misalnya :
1. Peristiwa
Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1).
2. Perbuatan
Pidana (Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1951, undang-undang mengenai : Tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara
pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b.
3. Perbuatan-perbuatan
yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonantie tijdelijke byzondere straf
bepalingan S 1948-17 dan Undang-undang RI (dahulu) No. 8 Tahun 1948 pasal
3.
4. Hal
yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
( Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang penyelesaian perburuhan,
pasal 19, 21, 22).
5. Tindak
Pidana (Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan,
dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi pasal 1.)
Menurut
apa yang disebutkan diatas, Prof. Soedarto, SH berpendapat bahwa, pembentuk
undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan
beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan
oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi
mempunyai “Sosiologische gelding”[2].
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana.
1. Unsur Undang-Undang Dan Yang Di Luar
Undang-Undang
Tidak dapat dijatuhkan pidana karena
suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti
bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam
rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat, perbuatan itu bersifat melawan
hukum dan dapat dicela. Dengan demikian rumusan pengertian “Perbuatan Pidana”
menjadi jelas suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk
dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.
Perbuatan manusia, bukan mempunyai
keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat
dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan
hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik, semua unsur rumusan delik yang
tertulis harus dipenuhi.
Bersifat melawan hukum, suatu
perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya,
sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan
hukum (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam
perang).
Dapat dicela, suatu perbuatan yang
memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun
tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya.
2. Sifat Melawan Hukum Atau Kesalahan
Sebagai Unsur Undang-Undang
Lain halnya kalau perbuatan yang
ditetapkan oleh ketentuan pidana biasanya sah dan tidak sahnya merupakan
pengkecualian. Hanya perkecualian itulah yang patut dipidana. Sebagai contoh
adalah perusakan. Sengaja merusak barang milik orang lain terjadi hamper tiap
hari tanpa bersifat melawan hukum. Misalnya, pembokaran rumah. Dalam menentukan
perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan
hukum (jadi yang tertulis) sebagai unsure yang tertulis. Tanpa rumusan ini,
rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Juga sifat dapat dicela kadang-kadang
dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik kulpa. Hanya istilah “dapat
dicela” itu sendiri tidak dijumpai dalam rumusan delik. Hoge Raad memutuskan
bahwa sifat dapat dicela merupakan bagian dari pengertian kesalahan kulpa
menurut undang-undang (Putusan tentang Perawat, 1963). Kalau yang dituduhkan
suatu delik kulpa, maka harus dibuktikan bahwa pelaku tidak hanya kurang
berhati-hati, tetapi juga dapat dicela.
3. Unsur Tertulis Dari Rumusan Delik
Atau Alasan Penghapus Pidana
Dalam suatu ketentuan pidana,
pembentuk undang-undang tidak selalu merumuskan perbuatan yang dapat dipidana
saja. Kadang-kadang ditambahkan dengan penyebutan keadaan dimana melakukan
perbuatan itu tidak dipidana. Jadi pembentuk undang-undang menambahkan alasan
penghapusan pidana pada rumusan delik. Alasan penghapusan pidana ini hanya
dapat digunakan kalau perbuatan itu telah dilakukan dan kalau terjadi keadaan
khusus yang dicantumkan dalam alasan penghapusan pidana tersebut. Contoh Pasal
310 KUHP : “tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
(Dalam KUHP Belanda sejak tahun 1978
dicantumkan dalam Pasal 261 ayat 3 : “tidak merupakan pencemaran tertulis jika
si pembuat terpaksa melakukan perbuatannya untuk membela diri atau dengan
itikad baik dapat berpendapat bahwa yang dituduhkan benar dan pembuatnya adalah
demi kepentingan umum”).[3]
C. Jenis-Jenis
Tindak Pidana.
Setelah
selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya,
marilah kini kita melihat kepada beberapa pembagian yang terpenting dari tindak
pidana, baik yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana.
Para
pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang berusaha untuk menemukan
suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum,
semula telah membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut rechtsdelicten dan apa yang mereka sebut
wetsdelicten.
Sesuai
dengan penjelasannya di dalam Memorie van Toelichting, pembagian di atas itu
telah didasarkan pada sebuah asas yang berbunyi :
a. Adalah
merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang
mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa
pelaku-pelakunya itu memang pantas untuk dihukum, walaupun tindakan-tindakan
tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai
tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Akan
tetapi juga terdapat sejumlah tindakan-tindakan, dimana orang pada umumnya baru
mengetahui sifatnya dari tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan
yang bersifat melawan hukum, yaitu setelah tindakan-tindakan tersebut
dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Yang dimaksud dengan “rechtsdelicten” adalah delik-delik seperti yang dimaksud di dalam
huruf a di atas, yakni karena delik-delik semacam itu adalah bertentangan
dengan hukum yang tertulis, sedang yang dimaksud dengan “wetsdelicten” itu adalah
delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang pantas
untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan
undang-undang.
Seperti yang kita lihat
di atas, pembagian dari tindak pidana ke dalam dua jenis tindakan melawan hukum
itu bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
demikian halnya dengan pembagian yang dewasa ini kita kenal sebagai pembagian
di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana kita trlah disebut sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran
(overtredingen).[4]
Di samping jenis
delik/tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP, ilmu
pengetahuan hukum pidanapun mengenal beberapa jenis delik atau tindak pidana
antara lain :
1. -
Delik Formil (formele delicten)
-
Delik Materiil (materiele delicten)
Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik
yang dianggap telah “voltooid” atau
penuh/selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
undang-undang.
Contohnya
:
-
Pasal 242 KUHP : Sumpah
Palsu, dalam hal ini yang dilarang adalah memberikan keterangan sumpah palsu.
-
Pasal 263 KUHP :
Pemalsuan surat.
-
Pasal 362 KUHP :
Pencurian yang melarang mengambil barang orang lain.
Yang
dimaksud dengan delik materiil adalah delik dianggap telah penuh atau selesai (voltocid), apabila perbuatan tersebut
telah menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Contoh :
-
Pasal 338 KUHP :
Pembunuhan
Dalam
perbuatan ini yang dilarang adalah
menimbulkan matinya orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan
tegas bagaimana sifat perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain.
Perbuatan ini dapat berupa : memukul, menikam dengan pisau, menembak, meracun
dan sebagainya. Akan tetapi yang dilarang dalam delik bukan perbuatannya tetapi
akibat dari perbuatan itu yaitu matinya orang lain.
2. -
Delik komisionis (commissie delicten)
-
Delik Ommisionis (ommissie delicten)
-
Oneigenlijke commisie delicten
Yang dimaksud dengan delik komisionis adalah delik
yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang terdiri dari perbuatan-perbuatan
yang terjadi karena melakukan suatu perbuatan. Contoh delik ini dapat berupa :
a. Delik
Formil : pasal 362 KUHP tentang pencurian
b. Delik
Materil : Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Yang
dimaksud dengan delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran tehadap
suatu keharusan yang terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan, jadi dari
suatu kelalaian. Contoh pasal 164 KUHP.
Yang
dimaksud dengan Oneigenlijke commisie
delicten adalah pada umumnya delik dilakukan dengan suatu perbuatan akan
tetapi terdapat juga suatu delik yang dilakukan tidak dengan melakukan suatu
perbuatan. Contoh adalah sebagai berikut :
-
Seorang penjaga palang
pintu kereta api tertidur dan lupa tidak menutup palang pintu jalan pada waktu
kereta lewat, akibatnya terjadi kecelakaan.
3. -
Delik Sederhana (eenvoudige delicten)
- Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten)
- Geprevelegeerde delicten.
Yang dimaksud dengan delik sederhana
adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya. Contohnya :
Pasal 362 KUHP tentang pencurian yang unsur-unsurnya adalah sesuatu barang,
barang harus sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, mengambil, dan
secara melawan hukum.
Delik berkualifikasi adalah delik
yang terdiri atas delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan
unsur-unsur lain, sehingga mengakibatkan ancaman pidananya diperberat.
Contohnya adalah : pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 363 KUHP
tentang pencurian berat, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan Geprevelegeerde delicten adalah delik
yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan
unsur-unsur lain yang mengakibatkan ancaman pidananya diperingan. Contohnya
adalah dalam pasal 341 KUHP.
4. -
Delik Aduan (klaschtdelicten).
-
Delik Biasa (gewonedelicten).
Delik
aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak
yang dirugikan. Contoh : pasal 248 KUHP.
Delik
biasa adalah delik yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan yang
bersangkutan, cukup apabila ia telah melakukan perbuatan yang melanggar
undang-undang.
5. -
Delik Umum (politike delicten)
-
Delik Khusus (delicten propia)
Delik
umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang
dimaksud dengan delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu. Contoh delik khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II
KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
6. -
Delik Politik (politike delicten)
-
Delik Komune (commune delicten)
Yang
dimaksud dengan delik politik adalah delik yang ditujukan terhadap keamanan
negara atau keamanan kepala negara. Contoh : pasal 104 dan 106 KUHP. Sedang
yang dimaksud dengan delik komune adalah delik yang tidak ditujukan terhadap
keamanan negara atau keselamatan kepala negara.
7. -
Delik berdiri sendiri (zelfstande
delicten)
-
Delik lanjutan (voorgrezette delicten)
Delik
berdiri sendiri adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan, sedangkan yang
dimaksud dengan delik lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa
perbuatan yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat, sehingga
dianggap kelanjutan satu sama lain. Contoh : dalam pasal 64 KUHP.
8. -
Delik Tunggal (enkelvoudige delicten)
-
Delik Bersusun (samengestelde delicten)
Delik
tunggal adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan
sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan delik
bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah
dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini
juga disebut gewoonte delicten (delik
kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.
9. –
delik yang berjalan selesai (aplopende
delicten)
-
Delik yang berlangsung (voordurentde
delicten)
Delik
yang berjalan selesai adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan dan
selesai. Contohnya pasal 338 KUHP. Sedangkan delik yang berlangsung adalah
delik yang melangsungkan perbuatan yang dilarang. Contoh : pasal 333 KUHP.[5]
D. Subyek Tindak
Pidana.
Di
dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa yang
menjadi subyek hukum pidana tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan.
Demikianlah pada abad pertengahan (1571) pernah dipidana seekor banteng, karena
membunuh seorang wanita, hal tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi.
Disamping
itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek
tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von
Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka
pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang
bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Jadi yang dimaksud subyek
tindak pidana adalah manusia, sedangkan hewan tidak merupakan subyek tindak
pidana.
Bahwa
hanya manusialah yang dianggap sebagai subyek tindak pidana ini dapat kita
simpulkan dari :
1. Rumusan
delik dalam undang-undang biasanya dimulai dengan kata-kata : “ barang siapa
yang .... “. Kata barang siapa ini tidak dapat diartikan lain daripada manusia.
2. Dalam
pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya
keslahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggung
jawabkan itu adalah manusia.
3. Pengertian
kesalahan yang dapat berupa Dolus dan
Culpa itu adalah merupakan sikap
batin daripada manusia.
4. Ketentuan
mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur terutama didalam pasal 44,
45. 49 KUHP yang antara lain mensyaratkan kejiwaan dari hukum.
Dalam
perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai
subyek hukum.
Dalam
KUHP ada suatu ketentuan yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah seperti
yang diatur dalam pasal 59 KUHP. Pasal tersebut berbunyi “ dalam hal-hal karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurusnya, anggota badan pengurus atau
komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran,
tidak dipidana”.
Pasal
ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (koperasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana
adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam suatu koperasi. Seorang dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan
tanpa ikut campurnya.
Dalam
KUHP juga ada pasal lain, yaitu pasal 169 : ikut serta dalam perkumpulan yang
terlarang, dan juga dalam pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris
perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
perseroannya.
Namun
ajaran tersebut telah ditinggalkan, dalam hukum positif Indonesia misalnya
dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 tersebut dapat kita
ketahui bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Selain itu dalam
Undang-Undang No. 11 Pnps 1963 jo UU No. 5 Tahun 1969 lampiran II a No. 9 pasal
17 ayat 1 menyebutkan : jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi
lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan “terhadapnya” dan seterusnya .....
ayat 3 nya berbunyi hampir sama seperti tersebut diatas.
Dalam
hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda ternyata pada akhirnya
manusia-manusia pada perseorangan atau anggota-anggota badan hukum itu yang
dikurangi hak miliknya yang berupa uang saham/andel dalam badan hukum itu.
Demikian juga misalnya suatu perserikatan orang dibubarkan, pada akhirnya
manusia-manusia anggota perserikatan itu dikurangi atau dihapuskan hak berkumpulnya
dalam perserikatan tersebut.
Namun
demikian penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat
perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan
usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang
sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum
dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan
dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal
(hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran
terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda).
Tentang
ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan
dapat disimpulkan antara lain :
a. Bahwa
pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau
perserikatan, tetapi sebenarnya kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk
sesuatu tujuan yang mempunyai kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang
tergabung pada badan tersebut.
b. Adanya
beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum),
terhadap badan-badan tersebut dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari
badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya
menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan (pidana penjara, tutupan) padanya :
dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan
sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya
perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan,
terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang
disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesimpulan
yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa Pembentuk undang-undang
kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh
pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Tindak pidana dapat diartikan
atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh
aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian
tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak
gerik jasmani seseorang. Menurut Prof. Soedarto, SH, beliau berpendapat bahwa,
pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana,
dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah
dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat,
jadi mempunyai “Sosiologische gelding”.
Unsur-Unsur
Tindak Pidana terdiri dari unsur Undang-Undang Dan Yang Di Luar Undang-Undang, mempunyai
Sifat Melawan Hukum Atau Kesalahan Sebagai Unsur Undang-Undang, dan Unsur
Tertulis Dari Rumusan Delik Atau Alasan Penghapus Pidana.
Jenis
tindak pidana ada beberapa macam diantaranya adalah Delik Formil (formele delicten), Delik Materiil (materiele delicten), Delik komisionis (commissie delicten), Delik Ommisionis (ommissie delicten), Oneigenlijke commisie delicten, Delik Sederhana (eenvoudige delicten), Delik
Berkualifikasi (gequalificeerde delicten),
Geprevelegeerde delicten. Delik Aduan
(klaschtdelicten), Delik Biasa (gewonedelicten), Delik Umum (politike delicten), Delik Khusus (delicten propia), Delik Politik (politike delicten), Delik Komune (commune delicten), Delik berdiri sendiri
(zelfstande delicten), Delik lanjutan
(voorgrezette delicten), Delik
Tunggal (enkelvoudige delicten),
Delik Bersusun (samengestelde delicten),
delik yang berjalan selesai (aplopende
delicten), Delik yang berlangsung (voordurentde
delicten)
Selain
mempunyai unsur-unsur, dan jenis-jenis, tindak pidana juga mempunyai subjek,
yaitu pelaku, siapakah subjek tindak pidana ? subjek tindak pidana adalah jelas
manusia, tetapi pada zaman dahulu selain manusia juga pernah pula hewan menjadi
subyek hukum. Hal ini terjadi pada abad pertengahan, yaitu sekitar tahun 1571.
Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai
subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von
Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka
pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang
bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Dalam perkembangan hukum
pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum.
Penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan
perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang
secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim
dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam
pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan
perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum)
administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya
dilakukan secara administrasi (denda). Tentang ketentuan mengenai pemidanaan
terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :
a.
Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya
bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya
kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai
kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.
Adanya beberapa ketentuan yang harus
menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut
dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat
dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan
(pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti
dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya
Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya
perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan,
terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang
disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Schaffmeister.
1995. Hukum Pidana. Yogyakarta:
Liberty.
2.
Cansil dan Cristhine Cansil. 2007. Pokok-Pokok
Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.
3. Marpaung,
Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
4.
Prodjodikoro,Wirjono. 2008. Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
5. Moeljatno.
2008. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
6. Prasetyo,
Teguh. 2005. Hukum Pidana Materiil Jilid
I. Yogyakarta: Kurnia Alam.
7. Farid,
Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I.
Jakarta: Sinar Grafika.
8. Lamintang,
PAF. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
9.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana.
Jakarta: PT Grafindo Persda.
[1] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana
Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 71.
[2] Teguh Prasetyo, Hukum
Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 75-76.
[3] Schaffmeister,
Keijzer, Sutoris, Hukum Pidana (Yogyakarta:
Liberty, 1995) h. 26-31
[4] Drs.
PAF Lamintang, SH, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1997). Hlm. 210.
[5] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm.
87-92.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini