Subyek Tindak Pidana
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial, makhuk yang tidak bisa terlepas dari orang lain, artinya
dia selalu membutuhkan dan akan selalu berinteraksi dengan orang lain
disekililingnya disetiap kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Selain itu manusia juga hidup dengan berbagai kepentingan dan
ambisinya, yang terkadang kepentingan dan ambisi ini selalu bergesek dengan
kepentingan dan ambisi orang lain. Terkadang mereka tidak sadar bahwa
kepentingan-kepentingan mereka yang sangat banyak itu tidak akan mampu
terpenuhi semuanya, hanya sebagian saja yang dapat terpenuhi, sehingga mereka
melakukan hal-hal yang berada diluar nurani manusia dan mereka lupa bahwa
ditengah-tengah kehidupan mereka juga terdapat aturan-aturan hukum. Tak
terkecuali hukum pidana, hukum yang mengatur tentang tindak pidana dan
kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Didalam hukum tersebut diatur pasal demi
pasal mengenai tindak pidana. Tindak pidana sendiri mempunyai unsur-unsur,
mempunyai jenis-jenis, mempunyai subyek yang selayaknya bahkan harus kita
ketahui sebagai manusia agar kita tahu batasan-batasan dan tindak menyesal
dikemudian hari karena tindakan kita. Atas dasar masalah yang diuraikan diatas
itulah makalah ini disusun, disamping itu adalah untuk memenuhi tugas individu
dalam mata kuliah Hukum Pidana.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa
hal sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan tindak
pidana itu ?
2.
Apa sajakah unsur-unsur tindak pidana
itu ?
3.
Ada berapakah jenis-jenis dari tindak
pidana ?
4. Apa
dan siapakah yang dimaksud sebagai subyek tindak pidana ?
C. Tujuan
Masalah.
Tujuan
merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam
makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan tindak pidana.
2.
Untuk mengetahui unsur-unsur tindak
pidana.
3.
Untuk mengetahui jenis-jenis tindak
pidana.
4. Untuk
mengetahui subyek tindak pidana.
D. Metode
Penulisan.
Metode
penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka .
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tindak Pidana.
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan
perkataan Strafbaarfeit untuk
menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana[1].
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan
dari Strafbaarfeit adalah
diintrodusir oleh pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Istilah ini
banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya :
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan
lain-lain. Tindak pidana dapat diartikan atau didefinisikan sebagai segala
setiap tindakan atau perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana jika dilakukan. Pengertian tindak pidana diatas menunjukkan
pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang.
Disamping
hal itu terdapat pula perbuatan seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi
dengan tidak berbuatnya ia, ia telah melakukan tindak pidana. Timbul
pertanyaan, dimanakah kita bisa membuktikan ia telah melakukan tindak pidana,
hal ini bisa kita lihat dari :
1.
Dari undang-undang.
Dimana
undang-undang mewajibkan ia berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
-
Pasal 522 KUHP, dimana undang-undang
mewajibkan ia untuk menjadi saksi.
-
Pasal 164 KUHP, dimana undang-undang
mewajibkan ia untuk melapor kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul
kejahatan.
2.
Berdasarkan Jabatan.
Dimana
jabatan seseorang mewajibkan ia untuk berbuat tetapi ia tidak berbuat, contoh :
penjaga wesel kereta api.
3.
Berdasarkan perjanjian
Dimana
berdasarkan dimana kalau ada perjanjian antara kedua belah pihak ia harus
berbuat ia tidak berbuat, ia telah melakukan tindak pidana.
Didalam
perundang-undangan negara kita dapat pula diumpai istilah-istilah lain yang
maksudnya juga strafbaar feit,
misalnya :
1. Peristiwa
Pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1).
2. Perbuatan
Pidana (Undang-Undang Dasar No. 1 Tahun 1951, undang-undang mengenai : Tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara
pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b.
3. Perbuatan-perbuatan
yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonantie tijdelijke byzondere straf
bepalingan S 1948-17 dan Undang-undang RI (dahulu) No. 8 Tahun 1948 pasal
3.
4. Hal
yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
( Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951, tentang penyelesaian perburuhan,
pasal 19, 21, 22).
5. Tindak
Pidana (Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan,
dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi pasal 1.)
Menurut
apa yang disebutkan diatas, Prof. Soedarto, SH berpendapat bahwa, pembentuk
undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan
beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan
oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi
mempunyai “Sosiologische gelding”[2].
B.
Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Seandainya
kita berusaha menjabarkan rumusan-rumusan delik atau tindak pidana ke dalam
unsur-unsurnya, maka yang mula-mula kita jumpai adalah disebutkannya suatu
tindakan manusia, dengan tersebut ia telah melakukan suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan suatu undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana suatu
perbuatan dapat berupa “melakukan sesuatu” atau “en niet doen”, yang terakhir ini menurut doktrin sering disebut
sebagai “een nalaten”, yang juga
berarti mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang). Akan tetapi Strafbaarfeit itu oleh Hoge Raad juga
pernah diartikan bukan suatu tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau
suatu keadaan. Dimana Hoge Raad telah menjumpai sejumlah tindak pidana di
bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan,
dimana seseorang itu harus dipertanggung jawabkan atas timbulnya
peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan
suatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang melakukan kealpaan, sehingga
ia harus dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana. Sungguhpun demikian
setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat kita bagi
menjadi dua unsur, yaitu :
1.
Unsur Subyektif.
Unsur
subyektif adalah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau
yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya[3].
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act doesnt make a reason guilty unless
the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah
kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) dan kealpaan/ketidak sengajaan (culpa). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa
“kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni :
1)
Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
2)
Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzjin)
3)
Kesengajaan dengan keinsafan akan
kemungkinan (dolus evantualis)
Kealpaan
terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni :
1)
Tak berhati-hati
2)
Dapat menduga akibat perbuatan itu.
2.
Unsur obyektif.
Unsur
obyektif adalah unsur yang terletak di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur
objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :
a.
Perbuatan manusia, berupa :
1) Act,
yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.
2) Omission,
yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan
atau membiarkan.
b.
Akibat (result) perbuatan manusia.
Akibat
terebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan
yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan, dan sebagainya.
c.
Keadaan-keadaan (Circumstances)
Pada
umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1)
Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2)
Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d.
Sifat dapat dihukum dan sifat melawan
hukum
Sifat
dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari
hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Semua
unsur delik atau tindak pidana tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu
unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari
pengadilan.
Para
pakar hukum mempunyai pendapat tersendiri mengenai unsur-unsur delik atau
tindak pidana, seperti menurut Prof. Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri
atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa :
a.
Suatu tindakan,
b.
Suatu akibat,
c.
Keadaan (omstandigheid).
Kesemuanya
itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Unsur
subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :
a.
Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid)
b.
Kesalahan (schuld).[4]
Menurut
Prof. Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur
lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping kelakuan dan
akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.[5]
Menurut
Lamintang, unsur delik atau tindak pidana terdiri atas dua macam, yakni unsur
subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa).
2.
Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3.
Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4.
Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.
5.
Perasaan takut seperti yang antara lain
terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur
objektif dari suatu tindak pidana menurut Lamintang adalah sebagai berikut :
1.
Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
2.
Kualitas dari sang pelaku, misalnya
keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP
atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut
pasal 398 KUHP.
3.
Kausalitas, yakni hubungan antara suatu
tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.[6]
Mencermati
pendapat para pakar di atas tentang unsur-unsur tindak pidana, maka pendapat
Prof. Satochid Kartanegara yang memasukkan toerekeningsvatbaarheid
sebagai unsur subjektif kurang tepat. Hal ini karena tidak semua ontoerekeningsvatbaarheid bersumber dari
diri pribadi si pelaku, namun antara lain dapat bersumber dari overmacht atau ambtelijk bevel (pelaksanaan perintah jabatan).
Pendapat
Lamintang yang menjelaskan bahwa unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada
diri pribadi si pelaku adalah tepat, tetapi apa yang tersebut pada butir 2, 3,
dan 4, unsur subjektif, pada hakikatnya termasuk jenis “kesengajaan” pula.[7]
C.
Jenis-Jenis Tindak Pidana.
Setelah
selesai mencoba menjabarkan beberapa tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya dan
berusaha untuk memberikan arti yang setepat-tepatnya kepada unsur-unsur
tersebut, marilah kini kita melihat kepada beberapa pembagian yang terpenting
dari tindak pidana, baik yang telah dilakukan oleh para ahli hukum pidana di
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Para
pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita yang berusaha untuk menemukan
suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum,
semula telah membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut rechtsdelicten dan apa yang mereka sebut
wetsdelicten.
Sesuai
dengan penjelasannya di dalam Memorie van Toelichting, pembagian di atas itu
telah didasarkan pada sebuah asas yang berbunyi :
a.
Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa
memang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht”
hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas
untuk dihukum, walaupun tindakan-tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang
telah tidak dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam
undang-undang.
Akan
tetapi juga terdapat sejumlah tindakan-tindakan, dimana orang pada umumnya baru
mengetahui sifatnya dari tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan
yang bersifat melawan hukum, yaitu setelah tindakan-tindakan tersebut
dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Yang dimaksud dengan “rechtsdelicten” adalah delik-delik seperti yang dimaksud di dalam
huruf a di atas, yakni karena delik-delik semacam itu adalah bertentangan
dengan hukum yang tertulis, sedang yang dimaksud dengan “wetsdelicten” itu adalah
delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang pantas
untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan
undang-undang.
Seperti yang kita lihat
di atas, pembagian dari tindak pidana ke dalam dua jenis tindakan melawan hukum
itu bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
demikian halnya dengan pembagian yang dewasa ini kita kenal sebagai pembagian
di dalam tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana kita trlah disebut sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran
(overtredingen).[8]
Di samping jenis
delik/tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP, ilmu
pengetahuan hukum pidanapun mengenal beberapa jenis delik atau tindak pidana
antara lain :
1.
- Delik Formil (formele delicten)
-
Delik Materiil (materiele delicten)
Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik
yang dianggap telah “voltooid” atau
penuh/selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
undang-undang.
Contohnya
:
-
Pasal 242 KUHP : Sumpah Palsu, dalam hal
ini yang dilarang adalah memberikan keterangan sumpah palsu.
-
Pasal 263 KUHP : Pemalsuan surat.
-
Pasal 362 KUHP : Pencurian yang melarang
mengambil barang orang lain.
Yang
dimaksud dengan delik materiil adalah delik dianggap telah penuh atau selesai (voltocid), apabila perbuatan tersebut
telah menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Contoh :
-
Pasal 338 KUHP : Pembunuhan
Dalam
perbuatan ini yang dilarang adalah
menimbulkan matinya orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan
tegas bagaimana sifat perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain.
Perbuatan ini dapat berupa : memukul, menikam dengan pisau, menembak, meracun
dan sebagainya. Akan tetapi yang dilarang dalam delik bukan perbuatannya tetapi
akibat dari perbuatan itu yaitu matinya orang lain.
2.
- Delik komisionis (commissie delicten)
-
Delik Ommisionis (ommissie delicten)
-
Oneigenlijke commisie delicten
Yang dimaksud dengan delik komisionis adalah delik
yang berupa pelanggaran terhadap larangan yang terdiri dari perbuatan-perbuatan
yang terjadi karena melakukan suatu perbuatan. Contoh delik ini dapat berupa :
a. Delik
Formil : pasal 362 KUHP tentang pencurian
b. Delik
Materil : Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Yang
dimaksud dengan delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran tehadap
suatu keharusan yang terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan, jadi dari
suatu kelalaian. Contoh pasal 164 KUHP.
Yang
dimaksud dengan Oneigenlijke commisie
delicten adalah pada umumnya delik dilakukan dengan suatu perbuatan akan
tetapi terdapat juga suatu delik yang dilakukan tidak dengan melakukan suatu
perbuatan. Contoh adalah sebagai berikut :
-
Seorang penjaga palang pintu kereta api
tertidur dan lupa tidak menutup palang pintu jalan pada waktu kereta lewat,
akibatnya terjadi kecelakaan.
3.
- Delik Sederhana (eenvoudige delicten)
- Delik Berkualifikasi (gequalificeerde delicten)
- Geprevelegeerde
delicten.
Yang dimaksud dengan delik sederhana
adalah delik yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya. Contohnya :
Pasal 362 KUHP tentang pencurian yang unsur-unsurnya adalah sesuatu barang,
barang harus sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, mengambil, dan
secara melawan hukum.
Delik berkualifikasi adalah delik yang
terdiri atas delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan unsur-unsur
lain, sehingga mengakibatkan ancaman pidananya diperberat. Contohnya adalah :
pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 363 KUHP tentang pencurian
berat, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan Geprevelegeerde delicten adalah delik
yang terdiri dari delik pokok beserta unsur-unsurnya ditambah dengan
unsur-unsur lain yang mengakibatkan ancaman pidananya diperingan. Contohnya
adalah dalam pasal 341 KUHP.
4.
- Delik Aduan (klaschtdelicten).
-
Delik Biasa (gewonedelicten).
Delik
aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak
yang dirugikan. Contoh : pasal 248 KUHP.
Delik
biasa adalah delik yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan yang
bersangkutan, cukup apabila ia telah melakukan perbuatan yang melanggar
undang-undang.
5.
- Delik Umum (politike delicten)
-
Delik Khusus (delicten propia)
Delik
umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang
dimaksud dengan delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang tertentu. Contoh delik khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II
KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
6.
- Delik Politik (politike delicten)
-
Delik Komune (commune delicten)
Yang
dimaksud dengan delik politik adalah delik yang ditujukan terhadap keamanan
negara atau keamanan kepala negara. Contoh : pasal 104 dan 106 KUHP. Sedang
yang dimaksud dengan delik komune adalah delik yang tidak ditujukan terhadap
keamanan negara atau keselamatan kepala negara.
7.
- Delik berdiri sendiri (zelfstande delicten)
-
Delik lanjutan (voorgrezette delicten)
Delik
berdiri sendiri adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan, sedangkan yang
dimaksud dengan delik lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa
perbuatan yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat, sehingga
dianggap kelanjutan satu sama lain. Contoh : dalam pasal 64 KUHP.
8.
- Delik Tunggal (enkelvoudige delicten)
-
Delik Bersusun (samengestelde delicten)
Delik
tunggal adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan
sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan delik
bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah
dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini
juga disebut gewoonte delicten (delik
kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.
9.
– delik yang berjalan selesai (aplopende delicten)
-
Delik yang berlangsung (voordurentde
delicten)
Delik
yang berjalan selesai adalah delik yang terdiri dari satu perbuatan dan
selesai. Contohnya pasal 338 KUHP. Sedangkan delik yang berlangsung adalah
delik yang melangsungkan perbuatan yang dilarang. Contoh : pasal 333 KUHP.[9]
D.
Subyek Tindak Pidana.
Di
dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa yang
menjadi subyek hukum pidana tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan.
Demikianlah pada abad pertengahan (1571) pernah dipidana seekor banteng, karena
membunuh seorang wanita, hal tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi.
Disamping
itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai subyek
tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von
Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka
pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang
bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Jadi yang dimaksud subyek tindak
pidana adalah manusia, sedangkan hewan tidak merupakan subyek tindak pidana.
Bahwa
hanya manusialah yang dianggap sebagai subyek tindak pidana ini dapat kita
simpulkan dari :
1.
Rumusan delik dalam undang-undang
biasanya dimulai dengan kata-kata : “ barang siapa yang .... “. Kata barang
siapa ini tidak dapat diartikan lain daripada manusia.
2.
Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat
dari hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya keslahan pada terdakwa, memberi
petunjuk bahwa yang dapat dipertanggung jawabkan itu adalah manusia.
3.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa Dolus dan Culpa itu adalah merupakan sikap batin daripada manusia.
4.
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban
pidana seperti diatur terutama didalam pasal 44, 45. 49 KUHP yang antara lain
mensyaratkan kejiwaan dari hukum.
Dalam
perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai
subyek hukum.
Dalam
KUHP ada suatu ketentuan yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah seperti
yang diatur dalam pasal 59 KUHP. Pasal tersebut berbunyi “ dalam hal-hal karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurusnya, anggota badan pengurus atau
komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran,
tidak dipidana”.
Pasal
ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (koperasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana
adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam suatu koperasi. Seorang dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa
ikut campurnya.
Dalam
KUHP juga ada pasal lain, yaitu pasal 169 : ikut serta dalam perkumpulan yang
terlarang, dan juga dalam pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris
perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Namun
ajaran tersebut telah ditinggalkan, dalam hukum positif Indonesia misalnya
dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi dalam pasal 15 ayat 1 dan 2 tersebut dapat kita
ketahui bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Selain itu dalam
Undang-Undang No. 11 Pnps 1963 jo UU No. 5 Tahun 1969 lampiran II a No. 9 pasal
17 ayat 1 menyebutkan : jika suatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan atau organisasi
lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan “terhadapnya” dan seterusnya .....
ayat 3 nya berbunyi hampir sama seperti tersebut diatas.
Dalam
hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda ternyata pada akhirnya manusia-manusia
pada perseorangan atau anggota-anggota badan hukum itu yang dikurangi hak
miliknya yang berupa uang saham/andel dalam badan hukum itu. Demikian juga
misalnya suatu perserikatan orang dibubarkan, pada akhirnya manusia-manusia
anggota perserikatan itu dikurangi atau dihapuskan hak berkumpulnya dalam
perserikatan tersebut.
Namun
demikian penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat
perkambangan perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan
usaha dagang secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang
sudah lazim dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum
dalam pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan
dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal
(hukum) administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran
terhadapnya dilakukan secara administrasi (denda).
Tentang
ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan
dapat disimpulkan antara lain :
a.
Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya
bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya
kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai
kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.
Adanya beberapa ketentuan yang harus
menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut
dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat
dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan
(pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti
dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya
Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya
perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan,
terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang
disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa Pembentuk undang-undang
kita telah menggunakan perkataan Strafbaarfeit
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaarfeit adalah diintrodusir oleh
pihak Pemerintah seperti Departemen Kehakiman. Tindak pidana dapat diartikan
atau didefinisikan sebagai segala setiap tindakan atau perbuatan yang oleh
aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana jika dilakukan. Pengertian
tindak pidana diatas menunjukkan pengertian gerak gerik tingkah laku dan gerak
gerik jasmani seseorang. Menurut Prof. Soedarto, SH, beliau berpendapat bahwa,
pembentuk undang-undang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana,
dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah
dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah ini sudah dapat diterima masyarakat,
jadi mempunyai “Sosiologische gelding”.
Tindak
pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat kita bagi menjadi dua unsur,
yaitu :
1.
Unsur Subyektif.
Unsur
subyektif adalah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau
yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya[1].
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act doesnt make a reason guilty unless
the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah
kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) dan kealpaan/ketidak sengajaan (culpa).
2.
Unsur obyektif.
Unsur
obyektif adalah unsur yang terletak di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur ini meliputi perbuatan,
keadaan-keadaan, akibat, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Jenis
tindak pidana ada beberapa macam diantaranya adalah Delik Formil (formele delicten), Delik Materiil (materiele delicten), Delik komisionis (commissie delicten), Delik Ommisionis (ommissie delicten), Oneigenlijke commisie delicten, Delik Sederhana (eenvoudige delicten), Delik
Berkualifikasi (gequalificeerde delicten),
Geprevelegeerde delicten. Delik Aduan
(klaschtdelicten), Delik Biasa (gewonedelicten), Delik Umum (politike delicten), Delik Khusus (delicten propia), Delik Politik (politike delicten), Delik Komune (commune delicten), Delik berdiri sendiri
(zelfstande delicten), Delik lanjutan
(voorgrezette delicten), Delik
Tunggal (enkelvoudige delicten),
Delik Bersusun (samengestelde delicten),
delik yang berjalan selesai (aplopende
delicten), Delik yang berlangsung (voordurentde
delicten)
Selain
mempunyai unsur-unsur, dan jenis-jenis, tindak pidana juga mempunyai subjek,
yaitu pelaku, siapakah subjek tindak pidana ? subjek tindak pidana adalah jelas
manusia, tetapi pada zaman dahulu selain manusia juga pernah pula hewan menjadi
subyek hukum. Hal ini terjadi pada abad pertengahan, yaitu sekitar tahun 1571.
Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggungjawabkannya badan hukum sebagai
subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Von
Feurbach, yang kesimpulannya badan-badan hukum tidak melakukan delik, maka
pertanggungjawaban badan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam hal ini yang
bertanggungjawab dipidanakan adalah pengurusnya. Dalam perkembangan hukum
pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subyek hukum.
Penentuan badan hukum sebagai subyek adalah perlu mengingat perkambangan
perdagangan yang memungkinkan sesuatu badan hukum menjalankan usaha dagang
secara luwes untuk mengimpor atau mengekspor barang, seperti yang sudah lazim
dalam dunia perdagangan internasional. Demikian peranan badan hukum dalam
pertahanan/keamanan tidak dapat diabaikan. Dalam hal peraturan berkenaan dengan
perpajakan atau perekonomian yang diatur biasanya mengenai soal-soal (hukum)
administrasi, yang cara penyelesaianya jika terjadi pelanggaran terhadapnya
dilakukan secara administrasi (denda). Tentang ketentuan mengenai pemidanaan
terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat disimpulkan antara lain :
a.
Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya
bukan diarah tujukan kepada badan hukum, atau perserikatan, tetapi sebenarnya
kepada kelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan yang mempunyai
kekayaan bersama untuk suatu tujuan yang tergabung pada badan tersebut.
b.
Adanya beberapa ketentuan yang harus
menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum), terhadap badan-badan tersebut
dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan itu terlarang dan dapat
dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan, kemerdekaan
(pidana penjara, tutupan) padanya : dan tidak mungkinnya pidana denda diganti
dengan pidana kurungan dan sebagainya. Demikianlah pendapat Pompe dalam bukunya
Handboek van Het Nederlands Strafrecht.
Singkatnya
perluasan badan hukum sebagai subyek hukum pidana, adalah suatu kebutuhan,
terutama dalam hal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang
disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Schaffmeister.
1995. Hukum Pidana. Yogyakarta:
Liberty.
2. Marpaung,
Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
3. Moeljatno.
2008. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
4. Prasetyo,
Teguh. 2005. Hukum Pidana Materiil Jilid
I. Yogyakarta: Kurnia Alam.
5. Farid,
Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I.
Jakarta: Sinar Grafika.
6. Lamintang,
PAF. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
[1] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm.
71.
[2] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana
Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 75-76.
[3] Ibid. Hlm. 94.
[4] Satochid Kartanegara, Hukum
Pidana Bagian Satu (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa). Hlm. 184-186.
[5] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana
(Jakarta: Bina Aksara, 1987). Hlm. 58.
[6] PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997). Hlm. 184.
[7] Leden Marpaung,
Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Hlm. 10-11.
[8] Drs. PAF Lamintang, SH,
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997). Hlm. 210.
[9] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana
Materiil Jilid I (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005). Hlm. 87-92.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini