Mazhab Shahabat (Ushul Fiqh)
A.
Pengertian Sahabat.
Menurut jumhur Ulama, sahabat adalah orang yang bertemu
dengan Nabi saw. Serta iman kepadanya, dan tetap beriman dalam masa yang cukup
untuk disebut sebagai sahabat menurut urf.
Menurut ulama lainnya, yang disebut sahabat ialah “Orang yang bertemu dengan Nabi saw. Dalam
keadaan Islam, dan matipun dalam keadaan Islam”. Maka orang yang bertemu
dengan Nabi saw, sedang dia belum memeluk agama Islam, tidaklah disebut
sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang menemui masa Nabi
dan beriman kepadanya, tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau
menjumpai Nabi, setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib, yang pergi dari
rumahnya setelah dia beriman, untuk menjumpai Nabi saw, dan tiba di Madinah
lalu dapat melihat jenazah Nabi saw, disebut sahabat, jika dia tetap dalam
keadaan beriman, sehingga ia wafat. Jika murtad setelah dijuluki sahabat, maka
hilanglah kesahabatannya, sehingga ia kembali kepada Islam[1].
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajjar, ahli hadits ternama, yang
dikatakan sahabat ialah orang yang berjumpa dengan Nabi saw. dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan Islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi
atau sebentar saja, baik turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik dia
dapat melihat Nabi tetapi tidak duduk semajlis dengan Nabi atau tidak dapat
melihat Nabi karena buta. Sedangkan Menurut
pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu
Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang
panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk
disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya
terdapat bakat atau bawaan (malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak
semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian
ushuliyun (ulama ahli ushul).[2]
Diantara para sahabat Nabi saw. adalah para khulafaur
Rasyidin : Abu bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib;
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru
bin Ash, Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain[3].
B. Pengertian
Mazhab Shahabi
Madzhab
Shahabi berarti "pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud
dengan "pendapat sahabat" ialah pendapat para sahabat yang tentang
suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum,
sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang
dihadapi sahabat tersebut.[4]
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang
dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu,
tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an
maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian
pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat
tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat
dipahami, perbedaan antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat
perorangan,yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang
lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.[5]
Sedangkan
menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli
hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap
orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi
Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang
hukum Islam.[6]
A. Kehujjahan
Mazhab Shahabi.
Maksud
kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi SAW. Pembicaraan apakah mazhab Shahabi itu
menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu : pembahasan dari kehujjahannya
terhadap sesama sahabat yang lain, dan kehujjahannya terhadap generasi
berikutnya atau orang yang selain sahabat, dan pembahasan dari segi bentuk
mazhab shahabi, dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad
pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat
dalam hal ini, yaitu :
1. Pendapat
sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi), meskipun secara terang tidak disebutkan
dari Nabi dapat menjadi hujah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang
berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim
(berlaku).
2. Pendapat
sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat
itu diberlakukan. Pada ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini
tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim
atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul,
diantaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan
oleh dua pakar ushul fiqih, yaitu: Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan
argumentasi sebagai berikut : “ bila sahabat yang lain itu adalah mujtahid,
maka pendapat seorang sahabat tidak dapat diberlakukan lagi bagi sahabat
lainnya itu, karena seorang sahabat tidak boleh ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau sahabat lain itu
bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid
(ber-taklid), namun hal ini lemah
sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujtahid[7].
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapat
sahabat bagi orang lain yang selain sahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah sahabat), tabi’tabi’in (generasi sesudah tabi’in)
dan generasi berikutnya:
1. Pendapat kalangan ulma yang terdiri dri ulama kalam
Asy’riyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam satu qaul-nya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama
Malikiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari
ijtihadnya tidaklah menjadi hujah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah
yang dipilih oleh al-Amidi. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikutnya :
a.
Firman Allah dalam
surat an-Nisa’ (4): 59 yang artinya “ Jika kamu berselisih pendapat
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” Dalam ayat ini ada perintah Allah untuk
mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan
pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat sahabat, tentu Allah akan
menyuruh umat berbuat demikian.
b.
Ijma’ sahabat
tentang kebolehan beda pendapat antara sesama sahabat. Seandainya pendapat
seorang sahabat itu menjadi hujah, tentunya seorang sahabat wajib mengikuti
yang lain, dan ini adalah mustahil[8].
2. Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn
Anas, al-Razi, al-Barza’i dari sahabat Abu Hanifah, al-Syafi’i dalam salah satu
qaul-nya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka
berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah secara mutlak. Mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.
Firman Allah dalam
surat Ali ‘Imran (3): 110 yang berbunyi “Kamu adalah umat terbaik yang
dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.”
Ayat ini merupakan
khitab yang diarahkan pada umat yang menjelaskan bahwa apa yang disuruh sahabat
itu adalah makruf sedangkan berbuat yang makruf itu wajib hukumnya.
b.
Sabda Nabi yang
artinya “Para sahabatku adalah laksana bintang gemintang; siapa pun yang kamu ikuti
kamu akan mendapat petunjuk”.
Hadits ini
mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diberikan oleh sahabat Nabi. Hal ini
menunjukkan kehujjahan pendapat yang disampaikan oleh sahabat.
3. Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak
(pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat; artinya: menerima dalam
bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian pendapat mereka adalah
sebagai berikut:
a.
Pendapat sahabat
dapat berdaya hujah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa
para sahabat itu biasa beramal dengan qiiyas,
kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak
menggunakan qiyas, baik dalam bentuk
nash maupun dalam bentuk ijma’. Bila
seorang sahabat menyalahi qiyas, maka
kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa is mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila
pendapatnya sama dengan qiyas, maka
kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas.
Dalam keadaan ini, maka qiyas itulah
yang menjadi hujah, dan bukan pendapat pribadi sahabat tersebut.
b.
Pendapat sahabat
yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadi hujah, karena
pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.
c.
Pendapat sahabat
dapat menjadi hujah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada
pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul dikalangan ulama yang
tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil
yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang sahabat, meskipun
pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap
masih bernama pendapat pribadi sahabat, bukan ijma’ sukuti dari sahabat. Pendapat sahabat menjadi hujah bukan
karena ia telah menjadi ijma’ sahabat tetapi karena pendapat pribadi
sahabat itu secara tidak ada yang menyanggahnya.
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikemukakan pendapat
para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah
secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka
adalah sebagai berikut:
1. Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir
dari Abu Bakar dan’Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi
yang menyatakan “Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar.”
Hadits ini dinyatakan hasan oleh
al-Tirmidzi.
2. Pendapat empat orang dari Khulafa al-rasyidin menjadi
hujjah dan tidak dari sahabat-sahabat lainnya. Dasarnya adalah hadis Nabi yang
dishahihkan oleh al-Tirmidzi yang berbunyi “Adalah
Kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunah Khulafa al-Rasyidin yang datang
sesudahku.”
3. Pendapat salah seorang Khulafa al-rasyidin selain Ali
menjadi hujah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali
dalam kelompok sahabat ini oleh al-Syafi’i bukan karena kurang dari segi
kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah
ia memindahkan kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para Sahabat yang biasa
menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum ‘Ali
sudah tidak ada lagi.
4. Pendapat dari sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi
dari Nabi menjadi hujah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu,
seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid
(hukum waris); Mu’adz ibn Jabbal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali ibn
Abi Thalib dalam masalah peradilan.
Di kalangan ulama yang menerima pendapat sahabat secara
mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan
dengan qiyas:
1. Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi
hujjah dan berada diatas qiyas
sehingga apabila terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus
didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas.
Berdasarkan pendapat ini bila ada dua pendapat sahabat yang berbeda dalam satu
masalah, maka penyelesaiannya sebagaimana penyelesaian dua dalil yang
bertentangan, yaitu melalui tarjih
(mencari dalil yang terkuat).
2. Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi
hujah, namun kedudukannya dibawah qiyas
dan bila terjadi perbenturan diantara keduanya, maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat.
Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat
sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umumnya dalil lafadz suatu hukum?
Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
1. Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umumnya dalil,
sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujah,
2. Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis
umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila
mendengar dalil yang umum.
Di
kalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab
shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah
sahabat boleh ber-taqlid kepada
sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1. Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam
kitabnya al-Burhan, mengatakan tidak
boleh. Alasannya adalah bahwa tidak kuatnya kepercayaan pada kebenaran pendapat
sahabat tersebut sebab pendapatnya tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan
pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan
oleh para muridnya. Hal ini bukan kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi
dari ijtihadnya sahabat. Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat
al-Syafi’i dalam qaul jadid
(pandangan baru)-nya.
2. Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa
bila orang boleh bertaklid kepada seorang mujtahid sesudah masa sahabat, tentu
akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid sahabat.
3. Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’i mengatakan boleh
bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun
tidak dibukukan[9].
DAFTAR
PUSTAKA
1. Syarifuddin,
Amir. 2011. Ushul Fiqh II. Jakarta:
Prenada Media.
2. Haroen,
Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta:
Logos Publishing House.
3. Khallaf,
Abdul Wahhab. 1996. Ilmu Ushulul Fiqh.
Bandung: Gema Risalah Press.
4. Muchtar,
Kamal. 1995. Ushul Fiqh Jilid I.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
5. Syukur,
Sarmin. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam.
Surabaya: Al-Ikhlas.
6. Syafe’i,
Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN,
STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
7. Dahlan,
Abdul Rahman. 2010. Ushul Fiqh.
Jakarta: Amzah.
8. Effendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenada Media.
[1] Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993). Hlm. 119-120.
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta:
Prenada Media, 2011). Hlm. 378
[3] Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993). Hlm. 120.
[4] Drs. H. Nasrun Haroen, MA., Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos,
1996). Hlm. 155.
[5] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010).
Hlm. 225.
[6] Satria Effendi,
Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005). Hlm. 169.
[7] Ibid., Hlm. 406.
[8] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta:
Prenada Media, 2011). Hlm. 407.
[9] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta:
Prenada Media, 2011). Hlm. 408-411.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini