Advertisements

Minggu, 12 April 2015

Mazhab Shahabat (Ushul Fiqh)


A.    Pengertian Sahabat.
Menurut jumhur Ulama, sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw. Serta iman kepadanya, dan tetap beriman dalam masa yang cukup untuk disebut sebagai sahabat menurut urf.
Menurut ulama lainnya, yang disebut sahabat ialah “Orang yang bertemu dengan Nabi saw. Dalam keadaan Islam, dan matipun dalam keadaan Islam”. Maka orang yang bertemu dengan Nabi saw, sedang dia belum memeluk agama Islam, tidaklah disebut sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi, setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib, yang pergi dari rumahnya setelah dia beriman, untuk menjumpai Nabi saw, dan tiba di Madinah lalu dapat melihat jenazah Nabi saw, disebut sahabat, jika dia tetap dalam keadaan beriman, sehingga ia wafat. Jika murtad setelah dijuluki sahabat, maka hilanglah kesahabatannya, sehingga ia kembali kepada Islam[1].
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajjar, ahli hadits ternama, yang dikatakan sahabat ialah orang yang berjumpa dengan Nabi saw. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan Islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi atau sebentar saja, baik turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi tetapi tidak duduk semajlis dengan Nabi atau tidak dapat melihat Nabi karena buta. Sedangkan Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat bakat  atau bawaan (malakah)dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).[2]
Diantara para sahabat Nabi saw. adalah para khulafaur Rasyidin : Abu bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib; Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin Ash, Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain[3].
B.     Pengertian Mazhab Shahabi
Madzhab Shahabi berarti "pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan "pendapat sahabat" ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut.[4]
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.[5]
Sedangkan menurut  Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.[6]
A.    Kehujjahan Mazhab Shahabi.
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi SAW. Pembicaraan apakah mazhab Shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu : pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat yang lain, dan kehujjahannya terhadap generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat, dan pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi, dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu :
1.      Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi), meskipun secara terang tidak disebutkan dari Nabi dapat menjadi hujah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
2.      Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Pada ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul, diantaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua pakar ushul fiqih, yaitu: Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan argumentasi sebagai berikut : “ bila sahabat yang lain itu adalah mujtahid, maka pendapat seorang sahabat tidak dapat diberlakukan lagi bagi sahabat lainnya itu, karena seorang sahabat tidak boleh ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (ber-taklid), namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujtahid[7].
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapat sahabat bagi orang lain yang selain sahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah sahabat), tabi’tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya:
1.      Pendapat kalangan ulma yang terdiri dri ulama kalam Asy’riyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam satu qaul-nya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Malikiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Amidi. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikutnya :
a.       Firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 59 yang artinya “ Jika kamu berselisih pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” Dalam ayat ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat sahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian.
b.      Ijma’ sahabat tentang kebolehan beda pendapat antara sesama sahabat. Seandainya pendapat seorang sahabat itu menjadi hujah, tentunya seorang sahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah mustahil[8].
2.      Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Razi, al-Barza’i dari sahabat Abu Hanifah, al-Syafi’i dalam salah satu qaul-nya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah secara mutlak. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.       Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran (3): 110 yang berbunyi “Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.”
Ayat ini merupakan khitab yang diarahkan pada umat yang menjelaskan bahwa apa yang disuruh sahabat itu adalah makruf sedangkan berbuat yang makruf itu wajib hukumnya.
b.      Sabda Nabi yang artinya “Para sahabatku adalah laksana bintang gemintang; siapa pun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk”.
Hadits ini mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diberikan oleh sahabat Nabi. Hal ini menunjukkan kehujjahan pendapat yang disampaikan oleh sahabat.
3.      Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat; artinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.       Pendapat sahabat dapat berdaya hujah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa para sahabat itu biasa beramal dengan qiiyas, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiyas, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’. Bila seorang sahabat menyalahi qiyas, maka kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa is mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya sama dengan qiyas, maka kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas. Dalam keadaan ini, maka qiyas itulah yang menjadi hujah, dan bukan pendapat pribadi sahabat tersebut.
b.      Pendapat sahabat yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadi hujah, karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.
c.       Pendapat sahabat dapat menjadi hujah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul dikalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang sahabat, meskipun pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama pendapat pribadi sahabat, bukan ijma’ sukuti dari sahabat. Pendapat sahabat menjadi hujah bukan karena ia telah menjadi ijma’ sahabat tetapi karena pendapat pribadi sahabat itu secara tidak ada yang menyanggahnya.
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan’Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar.” Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi.
2.      Pendapat empat orang dari Khulafa al-rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat-sahabat lainnya. Dasarnya adalah hadis Nabi yang dishahihkan oleh al-Tirmidzi yang berbunyi “Adalah Kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunah Khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku.
3.      Pendapat salah seorang Khulafa al-rasyidin selain Ali menjadi hujah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok sahabat ini oleh al-Syafi’i bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para Sahabat yang biasa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.
4.      Pendapat dari sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris); Mu’adz ibn Jabbal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali ibn Abi Thalib dalam masalah peradilan.
Di kalangan ulama yang menerima pendapat sahabat secara mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas:
1.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas sehingga apabila terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua pendapat sahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaiannya sebagaimana penyelesaian dua dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).
2.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah, namun kedudukannya dibawah qiyas dan bila terjadi perbenturan diantara keduanya, maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat.
Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umumnya dalil lafadz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
1.      Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umumnya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujah,
2.      Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum.
Di kalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh ber-taqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.      Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-Burhan, mengatakan tidak boleh. Alasannya adalah bahwa tidak kuatnya kepercayaan pada kebenaran pendapat sahabat tersebut sebab pendapatnya tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan oleh para muridnya. Hal ini bukan kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi dari ijtihadnya sahabat. Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafi’i dalam qaul jadid (pandangan baru)-nya.
2.      Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa bila orang boleh bertaklid kepada seorang mujtahid sesudah masa sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid sahabat.
3.      Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’i mengatakan boleh bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun tidak dibukukan[9].


 DAFTAR PUSTAKA

1.      Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh II. Jakarta: Prenada Media.
2.      Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Publishing House.
3.      Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
4.      Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh Jilid I. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
5.      Syukur, Sarmin. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
6.      Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
7.      Dahlan, Abdul Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
8.      Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.



[1] Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993). Hlm. 119-120.
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Prenada Media, 2011). Hlm. 378
[3] Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993). Hlm. 120.
[4] Drs. H. Nasrun Haroen, MA., Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1996). Hlm. 155.
[5] Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010). Hlm. 225.
[6] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005). Hlm. 169.
[7] Ibid., Hlm. 406.
[8] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Prenada Media, 2011). Hlm. 407.
[9] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Prenada Media, 2011). Hlm. 408-411.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini

Copyright © Achmad Asrofi All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3.